"Tiga tahun itu tanpa musim panas, tapi dampaknya bertahun-tahun dirasakan seperti kelaparan dan munculnya penyakit kolera. Ratusan ribu jiwa saat itu meninggal karena kelaparan," ungkapnya.
Owens Philip, Letnan Tentara Inggris yang ditugaskan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles juga memberikan keterangan, termuat dalam buku Menuju Puncak Gunung Tambora yang ditulis Harley Bayu Sastha dan Dedi Wicaksono, 2018.
Dalam kunjungannya setelah beberapa hari letusan Tambora, Raffles mencatat kesaksian beberapa orang yang berhasil menyelamatkan diri dari amuk letusan Gunung Tambora. Salah satunya adalah Raja Sanggar.
Dalam kesaksiannya, Raja Sanggar menceritakan, sekitar pukul 19.00 waktu setempat pada 10 April 1815, tiga kolom api terlihat keluar dan menyala dekat puncak Tambora.
Masing-masing kolom menyulutkan apinya sendiri-sendiri, makin membesar membumbung tinggi menuju langit di mana akhirnya semua menyatu menjadi satu kolom api raksasa yang menyala seperti neraka.
Baca juga: Taman Nasional Gunung Tambora: Sejarah, Flora dan Fauna, hingga Potensi Wisata
Hanya dalam hitungan jam, Desa Koteh dan desa-desa lain yang berada di Semenanjung Sanggar musnah oleh amukan Gunung Tambora.
Tiga kolom api yang menyatu merobek langit malam bergulung-gulung membentuk sebuah bola api yang sangat besar. Aliran lava pijar menggelegak dan mengalir turun mencari jalannya sendiri-sendiri menuruni lereng Tambora.
Saat itu gunung seperti menyala, merah seperti lidah api. Pukul 20.00, kondisi semakin memburuk. Batu apung berbagai ukuran bercampur dengan hujan dan abu panas turun deras dari langit.
Manuskrip tua Kesultanan Bima yang ditulis Khatib Lukman, juga menggambarkan betapa mengerikannya dampak letusan Gunung Tambora,1815.
"Selama tiga hari, Bima mengalami hujan debu dan gelap. Pada siang hari sangat gelap bagaikan malam, sehingga tiap rumah menyalakan lampu untuk menerangi," kata Penggiat Sejarah Bima, Fahrurizki.
Baca juga: Benarkah Penemuan Sepeda Dipicu Meletusnya Gunung Tambora?
Raja Sanggar sekaligus saksi hidup peristiwa letusan Tambora itu bernama Ismail Halilud Dayan.
Setelah kerajaan yang dipimpinnya porak-poranda oleh angin puting beliung dan tsunami, Raja Sanggar bersama 275 jiwa penduduknya yang selamat kemudian pindah ke dua tempat, yakni Banggo di Dompu dan Nggembe di Bima.
"Sebuah kekuatan yang luar biasa raja Sanggar mampu bertahan dalam amukan tsunami dan hujan batu serta angin puting beliung yang dahsyat," ungkap Fahrurizki.
Bernice De Jong Boers dalam bukunya 'Mount Tambora In 1815 : A Volcanic Eruption In Indonesia and ITS Aftermath' di Jurnal Indonesia 1995, menggambarkan wajah Pulau Sumbawa sebelum letusan Tambora 208 tahun lalu.
Menurut Boers, alam telah mencurahkan berkah yang sangat melimpah di pulau ini. Masyarakat seolah hidup tentram atas kekayaan alam yang tidak ada bandingnya di dunia.