Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/04/2023, 18:03 WIB
Junaidin,
Pythag Kurniati

Tim Redaksi

Tim Kompas.com akan melakukan Tapak Tilas 208 Tahun Letusan Tambora untuk menelusuri jejak letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Nantikan persembahan tulisan berseri kami tentang dampak dahsyatnya letusan besar Tambora pada 10 April 1815.

DOMPU, KOMPAS.com - Adalah pada waktu tengah malam. Meletuplah bunyi seperti meriam. Habislah terkejut sekalian alam. Serasa dunia bagaikan karam.

Waktu subuh fajar pun merekah. Dunia diturunkan Allah bala celaka. Sekalian orang habislah duka. Bertangis-tangisan segala mereka.

Bunyi bahananya sangat berjabuh. Ditempuh air timpa habu. Berteriak memanggil anak dan ibu. Disangkanya dunia menjadi kelabu.

Demikian Khatib Lukman, 1830, dalam Syair Kesultanan Bima mengisahkan 'kiamat' Tambora April 1815 silam.

Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas

Beberapa kutipan syair yang dipublikasikan oleh Henri Chambert Loir dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah itu seolah memberi gambaran betapa hebatnya letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dengan skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan gunung ini tercatat sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah manusia.

Skala letusannya empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Energinya disebut-sebut 170.000 kali lebih besar dari ledakan bom atom di Hiroshima di tahun 1945.

Baca juga: 4 Jalur Pendakian Gunung Tambora NTB Dibuka, Catat Syarat Mendakinya

Syair Kesultanan Bima, Kamis (6/4/2023) Kompas.com/ Doc. Fahrurizki Syair Kesultanan Bima, Kamis (6/4/2023)

Sementara dentumannya terdengar sampai ke Batavia (Jakarta), Makassar, Ternate, dan Bangka Belitung yang jaraknya mencapai 2.600 kilometer.

Jauh sebelum menggetarkan dunia pada 10 April 1815 malam, Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar ini menjulang sempurna dengan ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (MDPL).

Setelah menggelegak tiga hari berturut-turut yakni 10-13 April 1815, sepertiga tubuhnya runtuh. Kini tingginya hanya tersisa sekitar 2.851 MDPL dengan lubang kaldera sedalam 1,4 kilometer.

"Letusan Gunung Tambora 1815 itu menjadi letusan terdahsyat sepanjang sejarah, sampai saat ini masih terekam dengan baik. Skalanya 7 VEI, itu sama dengan skala letusan Samalas atau Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Namun, karena Rinjani gunung api purba yang ribuan tahun lalu meletus sejarahnya tidak terekam dengan baik," kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Tambora (TNGT), Deny Rahadi.

Baca juga: Fakta Bersejarah Letusan Tambora, Iklim Dunia Berubah hingga Napoleon Kalah Perang

Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Tambora mengakibatkan terjadinya darurat iklim selama beberapa tahun. Benua Eropa dan Amerika misalnya, tidak mengalami pergantian musim selama kurang lebih tiga tahun, sehingga terjadi kelaparan yang mengakibatkan ribuan jiwa meninggal.

Gillen D'Arcy dalam bukunya yang berjudul Tambora, Letusan Raksasa Dari Indonesia, lanjut Deny Rahadi, juga mengemukakan fakta bahwa tiga tahun setelah letusan tersebut hampir di mana pun hidup berarti lapar. Orang Jerman saat itu menyebut 1817 adalah 'Tahun Pengemis'.

Selain itu, kekalahan Napoleon Bonaparte di Palagan Waterloo juga disebut sebagai dampak tidak langsung dari letusan Gunung Tambora, 1815.

"Tiga tahun itu tanpa musim panas, tapi dampaknya bertahun-tahun dirasakan seperti kelaparan dan munculnya penyakit kolera. Ratusan ribu jiwa saat itu meninggal karena kelaparan," ungkapnya.

Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis (6/4/2023). Sumber: BTN Tambora. Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis (6/4/2023). Sumber: BTN Tambora.
Owens Philip, Letnan Tentara Inggris yang ditugaskan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles juga memberikan keterangan, termuat dalam buku Menuju Puncak Gunung Tambora yang ditulis Harley Bayu Sastha dan Dedi Wicaksono, 2018.

Dalam kunjungannya setelah beberapa hari letusan Tambora, Raffles mencatat kesaksian beberapa orang yang berhasil menyelamatkan diri dari amuk letusan Gunung Tambora. Salah satunya adalah Raja Sanggar.

Dalam kesaksiannya, Raja Sanggar menceritakan, sekitar pukul 19.00 waktu setempat pada 10 April 1815, tiga kolom api terlihat keluar dan menyala dekat puncak Tambora.

Masing-masing kolom menyulutkan apinya sendiri-sendiri, makin membesar membumbung tinggi menuju langit di mana akhirnya semua menyatu menjadi satu kolom api raksasa yang menyala seperti neraka.

Baca juga: Taman Nasional Gunung Tambora: Sejarah, Flora dan Fauna, hingga Potensi Wisata

Hanya dalam hitungan jam, Desa Koteh dan desa-desa lain yang berada di Semenanjung Sanggar musnah oleh amukan Gunung Tambora.

Tiga kolom api yang menyatu merobek langit malam bergulung-gulung membentuk sebuah bola api yang sangat besar. Aliran lava pijar menggelegak dan mengalir turun mencari jalannya sendiri-sendiri menuruni lereng Tambora.

Saat itu gunung seperti menyala, merah seperti lidah api. Pukul 20.00, kondisi semakin memburuk. Batu apung berbagai ukuran bercampur dengan hujan dan abu panas turun deras dari langit.

Manuskrip tua Kesultanan Bima yang ditulis Khatib Lukman, juga menggambarkan betapa mengerikannya dampak letusan Gunung Tambora,1815.

"Selama tiga hari, Bima mengalami hujan debu dan gelap. Pada siang hari sangat gelap bagaikan malam, sehingga tiap rumah menyalakan lampu untuk menerangi," kata Penggiat Sejarah Bima, Fahrurizki.

Baca juga: Benarkah Penemuan Sepeda Dipicu Meletusnya Gunung Tambora?

Kawah Gunung Tambora (Sumber BTN Tambora) Kawah Gunung Tambora (Sumber BTN Tambora)

Raja Sanggar sekaligus saksi hidup peristiwa letusan Tambora itu bernama Ismail Halilud Dayan.

Setelah kerajaan yang dipimpinnya porak-poranda oleh angin puting beliung dan tsunami, Raja Sanggar bersama 275 jiwa penduduknya yang selamat kemudian pindah ke dua tempat, yakni Banggo di Dompu dan Nggembe di Bima.

"Sebuah kekuatan yang luar biasa raja Sanggar mampu bertahan dalam amukan tsunami dan hujan batu serta angin puting beliung yang dahsyat," ungkap Fahrurizki.

Bernice De Jong Boers dalam bukunya 'Mount Tambora In 1815 : A Volcanic Eruption In Indonesia and ITS Aftermath' di Jurnal Indonesia 1995, menggambarkan wajah Pulau Sumbawa sebelum letusan Tambora 208 tahun lalu.

Menurut Boers, alam telah mencurahkan berkah yang sangat melimpah di pulau ini. Masyarakat seolah hidup tentram atas kekayaan alam yang tidak ada bandingnya di dunia.

"Padi, kacang-kacangan, dan jagung berlimpah. Hutan menyediakan lilin dan kayu yang sangat baik, khususnya kayu sapan yang kualitasnya tidak ada duanya di dunia seluruh nusantara," tulis Boers mengutip kisah perjalanan Schelle dan Tobias dari sepucuk surat resmi, 1824.

Hasil bumi seperti kopi, lada, dan kapas juga menjadi sumber pendapatan utama penduduk di Pulau Sumbawa.

Baca juga: Cuaca Ekstrem, Jalur Pendakian Gunung Tambora Ditutup

Sementara sebuah teluk di selatan Dompu, menyimpan kekayaan laut berupa mutiara yang berukuran besar. Masyarakat kala itu masih leluasa mengambilnya karena belum diawasi.

Di Bima, lanjut Boers, ladang garam membentang luas. Hasil alam ini dipasok penduduknya ke berbagai wilayah seperti Bonerate, Manggarai, Selayar dan Bone.

Dalam buku itu, Boers juga menceritakan pandangan Schelle dan Tobias tentang warga setempat saat mengunjungi wilayah Kerajaan Tambora.

Mereka menyebut warga di wilayah ini memiliki bahasa sendiri yang hampir mirip dengan satu bahasa di Flores. Bahkan, Sanggar dan Tambora tidak saja berbeda dari segi bahasa, tetapi juga dari segi penampilan dan mental.

"Menurut mereka sebagian besar penduduk Tambora berasal dari Manggarai di Flores," tulis Boers.

Baca juga: 4 Jalur Pendakian Gunung Tambora NTB Dibuka, Catat Syarat Mendakinya

Schelle dan Tobias memiliki alasan tersendiri membandingkan penduduk Tambora dengan penduduk paling berani di nusantara ini.

Penduduk di wilayah itu sangat cerdas dan pandai dalam mengelola serta melestarikan kekayaan alam yang dimiliki.

Mereka sangat patuh terhadap hukum yang berlaku, namun jika aturan itu dilanggar oleh warga atau penguasa, mereka tak segan membunuh atau mengasingkannya ke luar wilayah Tambora.

"Mereka patuh pada hukum tetapi jika penguasa mereka gagal untuk patuh seperti mereka dalam hal ini, dia akan segera menghadapi risiko kehilangan nyawanya atau paling tidak diasingkan ke negara asing," kata Boers mengutip surat Schelle dan Tobias.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pelajar SMA di Morowali Tega Bunuh Ibunya Saat Tidur, Apa yang Terjadi?

Pelajar SMA di Morowali Tega Bunuh Ibunya Saat Tidur, Apa yang Terjadi?

Regional
Duduk Perkara Malapraktik di Prabumulih, Bidan yang Menjabat sebagai Lurah Jadi Tersangka

Duduk Perkara Malapraktik di Prabumulih, Bidan yang Menjabat sebagai Lurah Jadi Tersangka

Regional
Viral Video 4 Wanita dan Satu Polisi Merokok Sambil Konsumsi Miras, Diduga di Mapolres Sikka

Viral Video 4 Wanita dan Satu Polisi Merokok Sambil Konsumsi Miras, Diduga di Mapolres Sikka

Regional
Pilkada Demak, PPP Bakal Usung 3 Nama, Baru Satu yang Ambil Formulir

Pilkada Demak, PPP Bakal Usung 3 Nama, Baru Satu yang Ambil Formulir

Regional
Selundupkan Benih Lobster Senilai Rp 15,9 Miliar, 2 Pelaku Ditangkap

Selundupkan Benih Lobster Senilai Rp 15,9 Miliar, 2 Pelaku Ditangkap

Regional
Pemprov Jateng Buka Magang Jepang Tanpa Kuota Pendaftar, Ini Perinciannya

Pemprov Jateng Buka Magang Jepang Tanpa Kuota Pendaftar, Ini Perinciannya

Regional
Napi Anak Pembunuh Polisi Ungkap Caranya Kabur dari Lapas

Napi Anak Pembunuh Polisi Ungkap Caranya Kabur dari Lapas

Regional
Bus Rombongan Perangkat Desa Kecelakaan di Tol Tangerang Merak, 8 Luka-luka

Bus Rombongan Perangkat Desa Kecelakaan di Tol Tangerang Merak, 8 Luka-luka

Regional
Siswa Kelas 9 Tewas Saat 'Camping' di Bumi Perkemahan Sekipan Karanganyar

Siswa Kelas 9 Tewas Saat "Camping" di Bumi Perkemahan Sekipan Karanganyar

Regional
Lokasi Pencarian Korban Banjir Lahar Dingin Sumbar Diperluas

Lokasi Pencarian Korban Banjir Lahar Dingin Sumbar Diperluas

Regional
Etik Suryani dan Agus Santoso Kembalikan Formulir Pendaftaran Calon Bupati Sukoharjo

Etik Suryani dan Agus Santoso Kembalikan Formulir Pendaftaran Calon Bupati Sukoharjo

Regional
Kisah Para Relawan yang Tinggalkan Pekerjaan untuk Bantu Korban Banjir di Sumbar, Sebut Panggilan Hati

Kisah Para Relawan yang Tinggalkan Pekerjaan untuk Bantu Korban Banjir di Sumbar, Sebut Panggilan Hati

Regional
Sempat Alami Keterlambatan di 5 Hari Pertama, Penerbangan Calon Jemaah Haji Embarkasi Solo Mulai Lancar

Sempat Alami Keterlambatan di 5 Hari Pertama, Penerbangan Calon Jemaah Haji Embarkasi Solo Mulai Lancar

Regional
Angkutan Kota Salatiga Terbakar saat Parkir di Depan Ruko

Angkutan Kota Salatiga Terbakar saat Parkir di Depan Ruko

Regional
Hari Jadi Ke-78 Sumsel, Pemprov Serahkan Berbagai Bantuan untuk Panti Asuhan hingga Ponpes 

Hari Jadi Ke-78 Sumsel, Pemprov Serahkan Berbagai Bantuan untuk Panti Asuhan hingga Ponpes 

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com