Salin Artikel

"Kiamat" Tambora, April 1815

DOMPU, KOMPAS.com - Adalah pada waktu tengah malam. Meletuplah bunyi seperti meriam. Habislah terkejut sekalian alam. Serasa dunia bagaikan karam.

Waktu subuh fajar pun merekah. Dunia diturunkan Allah bala celaka. Sekalian orang habislah duka. Bertangis-tangisan segala mereka.

Bunyi bahananya sangat berjabuh. Ditempuh air timpa habu. Berteriak memanggil anak dan ibu. Disangkanya dunia menjadi kelabu.

Demikian Khatib Lukman, 1830, dalam Syair Kesultanan Bima mengisahkan 'kiamat' Tambora April 1815 silam.

Beberapa kutipan syair yang dipublikasikan oleh Henri Chambert Loir dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah itu seolah memberi gambaran betapa hebatnya letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dengan skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan gunung ini tercatat sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah manusia.

Skala letusannya empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Energinya disebut-sebut 170.000 kali lebih besar dari ledakan bom atom di Hiroshima di tahun 1945.

Sementara dentumannya terdengar sampai ke Batavia (Jakarta), Makassar, Ternate, dan Bangka Belitung yang jaraknya mencapai 2.600 kilometer.

Jauh sebelum menggetarkan dunia pada 10 April 1815 malam, Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar ini menjulang sempurna dengan ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (MDPL).

Setelah menggelegak tiga hari berturut-turut yakni 10-13 April 1815, sepertiga tubuhnya runtuh. Kini tingginya hanya tersisa sekitar 2.851 MDPL dengan lubang kaldera sedalam 1,4 kilometer.

"Letusan Gunung Tambora 1815 itu menjadi letusan terdahsyat sepanjang sejarah, sampai saat ini masih terekam dengan baik. Skalanya 7 VEI, itu sama dengan skala letusan Samalas atau Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Namun, karena Rinjani gunung api purba yang ribuan tahun lalu meletus sejarahnya tidak terekam dengan baik," kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Tambora (TNGT), Deny Rahadi.

Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Tambora mengakibatkan terjadinya darurat iklim selama beberapa tahun. Benua Eropa dan Amerika misalnya, tidak mengalami pergantian musim selama kurang lebih tiga tahun, sehingga terjadi kelaparan yang mengakibatkan ribuan jiwa meninggal.

Gillen D'Arcy dalam bukunya yang berjudul Tambora, Letusan Raksasa Dari Indonesia, lanjut Deny Rahadi, juga mengemukakan fakta bahwa tiga tahun setelah letusan tersebut hampir di mana pun hidup berarti lapar. Orang Jerman saat itu menyebut 1817 adalah 'Tahun Pengemis'.

Selain itu, kekalahan Napoleon Bonaparte di Palagan Waterloo juga disebut sebagai dampak tidak langsung dari letusan Gunung Tambora, 1815.

"Tiga tahun itu tanpa musim panas, tapi dampaknya bertahun-tahun dirasakan seperti kelaparan dan munculnya penyakit kolera. Ratusan ribu jiwa saat itu meninggal karena kelaparan," ungkapnya.

Dalam kunjungannya setelah beberapa hari letusan Tambora, Raffles mencatat kesaksian beberapa orang yang berhasil menyelamatkan diri dari amuk letusan Gunung Tambora. Salah satunya adalah Raja Sanggar.

Dalam kesaksiannya, Raja Sanggar menceritakan, sekitar pukul 19.00 waktu setempat pada 10 April 1815, tiga kolom api terlihat keluar dan menyala dekat puncak Tambora.

Masing-masing kolom menyulutkan apinya sendiri-sendiri, makin membesar membumbung tinggi menuju langit di mana akhirnya semua menyatu menjadi satu kolom api raksasa yang menyala seperti neraka.

Hanya dalam hitungan jam, Desa Koteh dan desa-desa lain yang berada di Semenanjung Sanggar musnah oleh amukan Gunung Tambora.

Tiga kolom api yang menyatu merobek langit malam bergulung-gulung membentuk sebuah bola api yang sangat besar. Aliran lava pijar menggelegak dan mengalir turun mencari jalannya sendiri-sendiri menuruni lereng Tambora.

Saat itu gunung seperti menyala, merah seperti lidah api. Pukul 20.00, kondisi semakin memburuk. Batu apung berbagai ukuran bercampur dengan hujan dan abu panas turun deras dari langit.

Manuskrip tua Kesultanan Bima yang ditulis Khatib Lukman, juga menggambarkan betapa mengerikannya dampak letusan Gunung Tambora,1815.

"Selama tiga hari, Bima mengalami hujan debu dan gelap. Pada siang hari sangat gelap bagaikan malam, sehingga tiap rumah menyalakan lampu untuk menerangi," kata Penggiat Sejarah Bima, Fahrurizki.

Raja Sanggar sekaligus saksi hidup peristiwa letusan Tambora itu bernama Ismail Halilud Dayan.

Setelah kerajaan yang dipimpinnya porak-poranda oleh angin puting beliung dan tsunami, Raja Sanggar bersama 275 jiwa penduduknya yang selamat kemudian pindah ke dua tempat, yakni Banggo di Dompu dan Nggembe di Bima.

"Sebuah kekuatan yang luar biasa raja Sanggar mampu bertahan dalam amukan tsunami dan hujan batu serta angin puting beliung yang dahsyat," ungkap Fahrurizki.

Bernice De Jong Boers dalam bukunya 'Mount Tambora In 1815 : A Volcanic Eruption In Indonesia and ITS Aftermath' di Jurnal Indonesia 1995, menggambarkan wajah Pulau Sumbawa sebelum letusan Tambora 208 tahun lalu.

Menurut Boers, alam telah mencurahkan berkah yang sangat melimpah di pulau ini. Masyarakat seolah hidup tentram atas kekayaan alam yang tidak ada bandingnya di dunia.

"Padi, kacang-kacangan, dan jagung berlimpah. Hutan menyediakan lilin dan kayu yang sangat baik, khususnya kayu sapan yang kualitasnya tidak ada duanya di dunia seluruh nusantara," tulis Boers mengutip kisah perjalanan Schelle dan Tobias dari sepucuk surat resmi, 1824.

Hasil bumi seperti kopi, lada, dan kapas juga menjadi sumber pendapatan utama penduduk di Pulau Sumbawa.

Sementara sebuah teluk di selatan Dompu, menyimpan kekayaan laut berupa mutiara yang berukuran besar. Masyarakat kala itu masih leluasa mengambilnya karena belum diawasi.

Di Bima, lanjut Boers, ladang garam membentang luas. Hasil alam ini dipasok penduduknya ke berbagai wilayah seperti Bonerate, Manggarai, Selayar dan Bone.

Dalam buku itu, Boers juga menceritakan pandangan Schelle dan Tobias tentang warga setempat saat mengunjungi wilayah Kerajaan Tambora.

Mereka menyebut warga di wilayah ini memiliki bahasa sendiri yang hampir mirip dengan satu bahasa di Flores. Bahkan, Sanggar dan Tambora tidak saja berbeda dari segi bahasa, tetapi juga dari segi penampilan dan mental.

"Menurut mereka sebagian besar penduduk Tambora berasal dari Manggarai di Flores," tulis Boers.

Schelle dan Tobias memiliki alasan tersendiri membandingkan penduduk Tambora dengan penduduk paling berani di nusantara ini.

Penduduk di wilayah itu sangat cerdas dan pandai dalam mengelola serta melestarikan kekayaan alam yang dimiliki.

Mereka sangat patuh terhadap hukum yang berlaku, namun jika aturan itu dilanggar oleh warga atau penguasa, mereka tak segan membunuh atau mengasingkannya ke luar wilayah Tambora.

"Mereka patuh pada hukum tetapi jika penguasa mereka gagal untuk patuh seperti mereka dalam hal ini, dia akan segera menghadapi risiko kehilangan nyawanya atau paling tidak diasingkan ke negara asing," kata Boers mengutip surat Schelle dan Tobias.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/06/180302478/kiamat-tambora-april-1815

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke