BANDA ACEH, KOMPAS.com - Maisara (48) tengah berkemas memasukkan sejumlah barang ke mobil, Kamis (26/12/2019).
Termasuk sepasang mukena putih yang baru saja dikenakannya saat berdoa dan berziarah di makam massal di kawasan Blang Kureng, Aceh Besar.
Seperti tahun sebelumnya, ia tak pernah absen berziarah setiap tanggal 26 Desember.
15 tahun lalu, ia terjebak dalam air laut berwarna hitam menggulung, terjepit di plafon rumahnya.
Air menyisakan kepalanya yang mendesak plafon. Selamat dari amukan gelombang tsunami tak terjadi pada suaminya, Muharam dan tiga anak perempuannya.
Kenangan pilu itu pastinya tak terhapus dalam memori hidup Maisara.
“Mana mungkin bisa lupa, sebagai orang Aceh, kejadian itu tak mungkin terhapus dari ingatan,” ujar Maisara sambil terus berkemas, di rumahnya di Kajhu, Aceh Besar.
Baca juga: 15 Tahun Lalu: Jusuf Kalla, Tsunami Aceh, dan Perdamaian di Serambi Mekkah
Usai berziarah, rencananya Maisara dan suaminya kini, Samsuir akan melakukan perjalanan mengisi liburan akhir tahun.
“Rencana mau liburan ke rumah abang di Aceh Singkil, lalu ke Berastagi dan kembali ke Aceh,: ujarnya sambil tersenyum.
Sudah 15 tahun berlalu, ia mengaku tidak pernah bisa melupakan tragedi pilu itu.
"Mungkin sampai saya menghembuskan napas terakhir nanti tidak akan lupa," ujar Maisara.
"Kini saya menjalani hidup seiring takdir Tuhan saja. Ajaran agama mengajarkan kalau kita harus semangat dan ikhlas, kini saya menjalani aktivitas dengan keluarga yang baru bersama suami. Saya ikhlas, tapi saya tidak pernah lupa,” ucap Maisara.
Peristiwa gempa dan tsunami memang sudah berlalu 15 tahun. Namun, peristiwa ini selalu diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Aceh.
Puncak peringatan 15 tahun gempa dan tsunami aceh dengan mengusung tema “melawan lupa, bangun siaga” tahun 2019 ini dipusatkan di halaman Pidie Convention Center (PCC), Kabupaten Pidie, Kamis (26/12/2019).