JAMBI, KOMPAS.com – Andi Pradinata menjadi seniman serba bisa karena keadaan dan naluri untuk bertahan dari segala himpitan. Setelah 26 tahun berkesenian, kini dia menepi, untuk menata masa depan keluarganya.
“Saya merasa tenang di kebun, berkontemplasi tentang hidup di masa lalu, sekarang dan masa depan,” kata lelaki yang akrab disapa Amao melalui sambungan telepon, Senin (24/6/2024).
Amao mulai menampaki jalan kesenian semenjak duduk di bangku SMP tahun 1998. Dengan dorongan gurunya ia menulis puisi dan cerpen.
Sejumlah tulisannya memenangi lomba dan dimuat di surat kabar lokal di Jambi.
Berawal dari itu Amao ‘gila’ membaca dan belajar. Hatinya tak puas hanya pandai menulis, ia pun menggeluti dunia musik, belajar secara otodidak.
Musik karya Amao laris manis sebagai pengiring pementasan drama di Taman Budaya Jambi.
Tidak hanya membuat lagu, ia mendirikan rumah produksi (PH) bernama Jendela Art Production.
Barulah kemudian Amao membuat film sebagai sutradara dan penulis naskah dengan judul Sepasang Sayap Angin. Film ini rilis tahun 2011 dan tayang di stasiun televisi lokal serta memenangi festival film.
Baca juga: Sri Sultan Saragih, Menggali Kesenian Simalungun yang Nyaris Punah
Setelah merilis film tersebut nama Amao melambung, karena banyak mengerjakan iklan dan video kreatif untuk pencalonan beberapa kepala daerah.
Kemudian, dengan tetap menyesuaikan dengan perubahan zaman, dia membuat sketsa komedi bersama anaknya yang ditayangkan di saluran YouTube.
“Cita-cita saya dari kecil mau menjadi seniman profesional. Tapi saking cintanya dengan dunia ini saya bisa semua, seperti melukis, menyutradarai film, komedian dan menciptakan lagu."
"Memang puncak seni yang saya pelajari adanya pada film, karena di sana berkumpul semua bidang seni,” kata lelaki yang pernah memenangi festival musik jalanan tingkat nasional tahun 2007 ini.
Banyak orang memandang keterbasan adalah tantangan berat, namun Amao mengolah keterbatasan menjadi energi positif dalam karya.
Semua persoalan hidupnya diolah, sehingga menjadi karya yang relevan dengan banyak orang.
Bagi Amao, apabila telah sampai pada puncak kontemplasi, maka berkesenian itu adalah kepekaan dalam mengolah rasa.
Misalnya bunga lotus atau teratai yang hidup di sungai yang kotor, tapi tetap menumbuhkan bunga yang menawan.
“Saya berusaha menjadikan diri saya ini berguna dan bukan beban bagi orang lain. Maka saya terus belajar dari awalnya tidak paham itu film, jadi bisa bikin film."
"Saya pikir itu kerja keras dan anugerah dari Tuhan kepada saya,” kata Amao.
Baca juga: Melihat Perlawanan Ismet Raja Tengah Malam Lewat Jalur Kesenian
Meskipun ia sibuk dalam berkarya, Amao tetap meluangkan waktu bermain musik dengan anak-anak tunanetra, kemudian lebih dua tahun melatih anak-anak tunarungu melukis.
Amao melakukan itu sebagai bentuk berbagi pengetahuan kepada kelompok disabilitas yang terpinggirkan.
“Awalnya berat karena disabilitas masih termarginalkan, mereka banyak ditolak untuk masuk dunia kerja. Saya bantu mereka sesuai kemampuan saya."
"Sekarang sudah lebih mudah, karena ada perlindungan hukum bagi kelompok disabilitas,” kata lelaki yang tergabung dalam pengurus National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Jambi.
Ketika bicara kesulitan tentu tak ada habisnya, kata Amao untuk menyalakan korek api saja dia kesulitan, bahkan untuk membawa motor saja repot. Bahkan, peralatan kesenian yang ada, sukar untuk dimainkan dengan tangan satu.
Batasan itu tidak membuat Amao menyerah, justru dia lebih banyak berpikir untuk membuat siasat mengatasi keterbatasan. Misalnya dia melukis dengan ampas kopi, kulit kacang dan media lain yang memudahkan dalam berkesenian.
“Alhamdulillah lukisan saya laku belasan juta. Itu saya gunakan untuk membeli motor pertama saya. Dan sudah dimodifikasi, agar bisa mudah dikendarai dengan tangan satu,” kata Amao.
Walau begitu Amao nyaris meradang, karena ditolak pemimpin televisi lokal. Bukan karena karyanya yang terlalu kritis, tetapi karena fisiknya yang berbeda dari kebanyakan orang. Padahal, ia telah mendapatkan kontrak dengan nilai lumayan.
Baca juga: Overlanding Indonesia Gelar Kesenian Tradisional Bantengan di Malang
“Ketika mau masuk televisi dipermasalahkan karena kecacatan. Tahun 2005-2006 itu memang jarang atau tidak pernah orang cacat itu tampil, karena alasannya kurang menarik,” kata Amao.
Rekan-rekan disabilitas Amao hendak turun tangan dan sempat menyita perhatian banyak orang Jambi. Lantaran Amao dicekal selama seminggu.
“Karena banyak pihak yang turun terlibat, akhirnya ada permintaan maaf dari yang bersangkutan dan saya dibolehkan,” kata lelaki yang memenangi lomba lawak tingkat Sumatera ini.
Menjadi seniman yang menekuni banyak bidang, membuat Amao lebih mudah dalam mendapatkan pemasukan. Uang didapat dari banyak pintu. Alasan itulah membuat dia merdeka dalam berkarya.
“Saat berkesenian tidak pernah berharap dukungan dan minta dana dari pemerintah untuk menunjang kesenian. Saya tidak punya utang budi dan kadang dikasih malah tidak mau," kata Amao.
Pada dasarnya bukan anti-Pemerintah, tetapi berkarya tanpa campur tangan Pemerintah justru lebih maksimal dan bebas.
Untuk saat ini, Amao bukan mencari uang di kesenian. Justru, dia menghabiskan uang dan waktunya untuk berkarya.
Tangga kesenian Amao sudah dipuncak dan menghasilkan uang cukup banyak, setelah dengan kreativitasnya membantu sejumlah calon kepala daerah.
Kini, dia mengaku ingin hidup dengan cara orang ‘dewasa’, yang berangkat dari masa lalu, untuk sekarang dan masa depan.
Amao memboyong istri dan dua anaknya untuk tinggal di kebun. Lantaran ia ingin hidup lebih damai jauh dari hingar bingar perkotaan.
Untuk bertahan hidup di masa sekarang dan masa depan, Amao merintis usaha sate. Sekarang sudah memiliki dua cabang, dan bulan depan akan ditambah menjadi lima cabang.
Baca juga: Gejog Lesung, Kesenian Tradisional yang Jadi Ekspresi Kebahagiaan Masyarakat Agraris
“Belakangan saya ingin hidup dengan cara sedikit berbeda, sunyi dan tenang. Berkesenian untuk mengejar manfaat bagi orang lain, orang sedih jadi gembira, orang yang gembira jadi berpikir,” kata lelaki berusia 40 tahun ini.
Meskipun sudah mulai menepi, tidak semua aktivitas kesenian hilang dan dilupakan. Ia tetap membuat lagu.
Dia juga masih syuting setiap dua minggu sekali untuk program televisi lokal bersama sanggar Abdul Muluk Reborn.
Abdul Muluk Reborn adalah komunitas yang menghidupkan teater tradisi Abdul Muluk, yang menegaskan akar komedi-nya.
Amao mengaku ingin memberi tawa kepada orang, tetapi sekaligus membuat penonton berpikir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.