“Jadi saling keterikatan inilah yang membuat kenapa bank emok ini atau boleh kita katakan sebagai rentenir ini masih survive dan masih sering muncul di berbagai daerah,” ujarnya kemudian.
Lebih lanjut, Ferry mengatakan bahwa bank emok masih eksis lantaran warga masih sangat bergantung pada rentenir untuk memenuhi kebutuhan dana cepat secara instan.
Situasi ini cenderung terjadi di pedesaan yang warganya minim akses terhadap lembaga keuangan dan minim literasi keuangan. Apalagi, warga di daerah pedesaan kebanyakan memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dengan sering kali tak mau direpotkan dengan urusan administrasi dan birokrasi saat melakukan pinjaman.
Baca juga: Perempuan di Mataram Ditangkap Polisi atas Kasus Arisan Fiktif
“Jadi masing-masing bergantung sebenarnya. Masyarakat ada ketergantungan karena butuh dana cepat untuk urusan mereka, bank emok berpikir ini konsumen prospektif yang akan memberikan keuntungan bagi mereka. Hal itu yang terus terjadi di masyarakat kita,” kata Ferry.
Keberhasilan Mother Bank mengurangi ketergantungan warga pada bank emok, menarik minat daerah lain untuk membuat hal serupa.
Hal ini diungkapkan Ismal, inisiator Mother Bank, yang mengeklaim salah satu kepala desa di Kebumen, Jawa Tengah, yang kewalahan dengan warganya yang terlilit utang tinggi. Akhirnya, aparatur desa turun tangan membantu membayar utang tersebut.
“Terus mereka mendengar Mother Bank ini, ‘Wah ini kalau di desa saya, ini bakal jadi program prioritas karena enggak cuma ngomongin solusi buat bank emok’,” kata Ismal menirukan ucapan si kepala desa.
Namun demikian, ekonom dari Unpad Ferry Hadiyanto menilai, gerakan swadaya masyarakat untuk mengatasi bank emok bisa terjadi jika daerah tersebut memiliki kondisi sosial masyarakat yang guyub dengan tradisi gotong royong yang masih kuat, sehingga memungkinkan dibentuk kelompok seperti Mother Bank.
Baca juga: Penipu Bermodus Arisan Fiktif di Jombang Ditangkap Saat Kabur ke Denpasar
Dia menuturkan, swadaya masyarakat untuk mengatasi bank emok ini sudah muncul di beberapa daerah di Jawa Barat, antara lain Purwakarta, Tasikmalaya, Banjar, dan Ciamis.
“Tapi itu memang benar-benar sifatnya local wisdom masing-masing daerah. Kalau untuk digeneralisasi tetap butuh bantuan atau sarana dan upaya pemerintah untuk membantu karena sangat sulit,” imbuh Ferry.
Dia mencontohkan Grameen Bank yang diterapkan di Bangladesh dan meraih penghargaan Nobel pada 2006, tak berhasil diterapkan di Indonesia.
Pemerintah, lanjut Ferry, telah melakukan berbagai upaya mengatasi praktik rentenir ini dengan memberikan fasilitas kredit berbunga ringan.
Pada 2015 silam, pemerintah mengulirkan program Permodalan Nasional Madani (PNM) Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera yang menyasar ibu-ibu prasejahtera berusia produktif namun tak memiliki akses terhadap lembaga keuangan yang ingin memulai atau mengembangkan usaha.
Baca juga: Kronologi Keracunan Massal di Kebumen, Berawal dari Arisan RT
Program kredit ini memang ditujukan untuk memberantas praktik rentenir sehingga yang menjadi sasarannya adalah pelaku ekonomi kategori supermikro yang kebanyakan tidak memiliki agunan dan akses ke bank.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Taufik Garsadi, menjelaskan pinjaman yang diberikan bukan untuk konsumtif atau Pendidikan, melainkan untuk modal usaha.
“Agar bisa mandiri, sebelum dapat kredit mereka dilatih dulu oleh BJB sehingga punya kemampuan untuk mengembalikan pinjaman,” jelas Taufik.
Baca juga: Tertipu Arisan Fiktif, Warga Mojokerto Alami Kerugian Rp 82 Juta
“Pinjamnya itu kecil-kecil, ada yang Rp500 ribu, ada yang Rp1 juta, Rp2 juta. Maksimal pinjaman Rp10 juta,” jelasnya kemudian.
Hingga Desember 2023, hampir 22 ribu pelaku usaha supermikro di Jawa Barat yang mendapat Kredit Mesra dengan total dana yang disalurkan sekitar Rp80 miliar. Sebagian dari debitur, kata Taufik, adalah korban rentenir.
Meski penyalurannya sudah sebanyak itu, Taufik menyebut belum semua pelaku usaha terjangkau kredit tersebut. Pasalnya, dari jumlah 1,8 juta pelaku usaha kecil di Jawa Barat, sebanyak 90% adalah pengusaha supermikro.
Oleh sebab itu, dia meyakini program pemerintah belum mampu memberantas rentenir atau bank emok di kalangan pelaku usaha, terlebih lagi kaum ibu yang berutang karena desakan kebutuhan hidup atau biaya pendidikan dan bukan target dari program kredit tersebut.
“Enggak [berhasil diberantas kalau melihat] dari jumlah karena [pemerintah dan BJB] terbatas alokasi anggarannya dan juga memang tenaga pendamping dari BJB juga terbatas,” jelas Taufik.
Baca juga: Rugikan Warga hingga Miliaran Rupiah, Kantor Arisan Online Digeruduk
“Mereka (pihak bank emok) langsung datang, langsung bawa uang, cair deh. Kalau bank butuh proses dulu, dilatih dulu,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa minimnya administrasi dan pencatatan membuat pemerintah kesulitan menelusuri dan mendata kasus bank emok.
Intervensi yang dilakukan pemerintah, menurut ekonom Unpad, Ferry Hadiyanto, “sudah bagus”, kendati begitu dia mengakui sangat sulit memberantas bank emok.
“Oleh karena itu, perpanjangan tangan pemerintah itu harus ditingkatkan lagi,” katanya.
Itu, menurut Ferry, bisa dilakukan dengan menciptakan kompetitor dengan mengadopsi pendekatan bank emok yang personal.
Baca juga: Penipuan Berkedok Arisan Bodong, Mahasiswa di Bandung Dilaporkan
“Kemampuan pendekatan bank emok dengan personal itu harus dilawan dengan pendekatan personal lagi. Sehingga masyarakat mempersepsikan bahwa lembaga yang disediakan pemerintah bisa memenuhi harapan mereka untuk menyediakan uang kapan pun,” ujar Ferry.
Lembaga yang bisa berperan sebagai “perpanjangan tangan pemerintah” adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan memperkuat kerja sama antara BUMDes denan pemerintah daerah, termasuk lembaga perwakilan desa untuk bisa menggali dan menggalang kearifan lokal di masing-masing daerah.
“Paling tidak, eksistensi BUMDes itu bisa sebagai pilihan atau alternatif lain buat masyarakat. Jadi mereka tidak tidak bergantung 100% kepada bank emok,” pungkasnya.
Gerakan warga seperti Mother Bank dan berbagai upaya pemerintah hingga kini memang belum berhasil memberantas bank emok. Tapi setidaknya, masyarakat dan pemerintah berupaya mengurai jeratan bank emok agar tidak banyak korban yang terjerat pinjaman berbunga tinggi, seperti akhir dari lirik lagu "Jalan-Jalan".
‘Marilah kita maju bersama. Makmurkan desa, bukan bayar bunga.’
Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi dalam liputan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.