Salin Artikel

"Mother Bank", Saat Para Ibu di Majalengka Lawan Rentenir "Bank Emok" dengan Lagu

Penggalan lirik tersebut diambil dari lagu berjudul "Jalan-Jalan" yang dinyanyikan Mother Bank, kolektif musik beranggotakan sekelompok ibu-ibu yang bersenandung dengan memakai jubah berwarna pink menyala, kepala dihiasi peci hitam dengan tinggi tak lazim. Tudung berwarna senada dengan jubah mereka membuat penampilan mereka kian dramatis.

Namun, lirik yang mereka nyanyikan bukan sekedar nyanyian, tapi pengalaman nyata semua anggota Mother Bank, ibu-ibu Dusun Wates, Desa Jatisura Kecamatan Majalengka, Jawa Barat.

Mereka adalah korban dari praktik pinjaman berbunga tinggi atau rentenir. Di Jawa Barat, praktik rentenir ini dikenal dengan istilah 'bank emok'.

Bank emok adalah sebutan untuk sistem utang piutang yang dijalankan oleh perorangan maupun lembaga yang menyasar individu per individu dengan persyaratan yang mudah dan nyaris tanpa jaminan, akan tetapi menerapkan bunga pinjaman yang tinggi.

Momen jelang lebaran biasanya dimanfaatkan pihak bank emok untuk menawarkan jasanya. Apalagi, harga kebutuhan pokok cenderung membumbung tinggi menjelang Hari Raya Idulfitri.

Warga Dusun Wates sekaligus ketua Mother Bank, Yati Sumiati, mengaku khawatir kondisi tersebut akan membuat warga terjerat utang bank emok.

“Kekhawatiran (berutang ke bank emok) sih ada. Memang kebutuhan di bulan puasa ini banyak banget, harga-harga mahal,” ungkap Yati kepada Yuli Saputra, wartawan di Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (27/03).

Dilabeli demikian lantaran proses peminjaman dilakukan dalam sebuah pertemuan rutin, biasanya mingguan, ketika para nasabah yang didominasi perempuan duduk emok.

Pihak bank emok mewajibkan para debitur hadir dalam setiap pertemuan untuk menyetorkan langsung cicilannya, sebagai salah satu syarat berutang.

Aan Kartika adalah satu dari sekian banyak korban bank emok. Perempuan berusia 51 tahun itu terpaksa meminjam uang ke bank emok demi melepaskan anaknya dari jeratan rentenir.

Si anak meminjam Rp1 juta, tapi tiap pekan harus menyetor minimal Rp200 ribu. Jumlah tersebut hanya bunganya saja, belum termasuk pokok utang.

Bagi Aan, seorang buruh musiman pabrik genteng, setoran itu sangat membebaninya. Selama enam bulan pertama, Aan hanya mampu membayar bunga pinjaman. Total sudah Rp1,2 juta ia bayarkan, tapi utangnya tidak berkurang sepeser pun.

Akhirnya, Aan nekad berutang ke bank emok untuk menutup utang rentenir. Persis seperti ungkapan ‘gali lubang, tutup lubang.’ Pada bulan ke tujuh, utang ke rentenir dilunasi dengan memakai uang pinjaman bank emok.

Ke bank emok, Aan meminjam Rp6 juta yang dicicil Rp234 ribu tiap dua pekan selama 37 kali, atau sekitar 1,5 tahun. Jika dihitung-hitung, Aan harus membayar total Rp8,65 juta, sekitar 45% lebih tinggi dari nilai utangnya. Situasi yang semakin menjerat Aan.

“Awal mulanya pinjam ke bank emok buat nutupin utang anak ke rentenir. Pinjam sejuta per bulannya Rp200 ribu, yang (utang) uang sejuta itu masih utuh. Eh tahu-tahunya pinjam ke bank emok sama saja bunganya tinggi juga,” tuturnya saat ditemui di Dusun Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Rabu (27/03).

“Kesulitan (nyicil)nya kalau enggak ada kerjaan, pas pabrik gentengnya libur,” ungkap Aan.

Yati meminjam Rp10 juta dengan bunga pinjaman 20% dalam jangka waktu satu tahun. Tidak hanya satu, Yati juga meminjam ke bank emok lainnya demi melunasi utang di bank emok sebelumnya. Bahkan dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, sebesar 50%. Bukannya terbebas, perempuan 48 tahun itu malah makin terlilit utang.

“Ya pinjam uang [untuk] bayar utang. Jadi malah nambah utang. Hasilnya saya malah terlilit utang,” kisah Yati.

Aan dan Yati adalah dua dari ratusan ribu warga Jawa Barat yang terjerat bank emok. Sejauh ini, belum ada data spesifik kasus korban bank emok. Namun demikian, merujuk data Badan Pusat Statistik, sekitar 40% dari 1,8 juta pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi korban rentenir.

Itu artinya sebanyak 720 ribu pelaku UMKM terlilit utang berbunga tinggi. Belum lagi jika menghitung korban rentenir dari kalangan ibu rumah tangga.

Pakar Ekonomi dari Universitas Padjajaran (Unpad), Ferry Hadiyanto, menyebut bank emok bukan hal baru, tapi fenomena yang sudah terjadi turun temurun.

Pada praktiknya, menurut Ferry, bank emok beroperasi layaknya rentenir atau lintah darat yang menerapkan bunga pinjaman tinggi dan menyasar masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Rentenir atau lintah darat ini memiliki beragam sebutan di tiap daerah. Jika di Jawa Barat dikenal sebagai bank emok atau bank keliling, di Jawa Timur dan Jawa Tengah mereka terkenal dengan sebutan bank titil dan bank plecit.

“[Bank emok] itu sebenarnya fenomena turun temurun yang dialami masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan,” tutur Ferry, Jumat (29/03).

Pendekatan dan sifat transaksi bank emok ini sangat individual, kata Ferry. Oleh sebab itu, bagi masyarakat golongan menengah ke bawah pendekatan bank emok “terasa pas dibandingkan dengan pendekatan lembaga keuangan atau program kredit yang diberikan oleh pemerintah”.

Pendekatan yang personal itu, lanjut Ferry, membuat pihak bank emok bisa mengetahui siapa saja individu yang membutuhkan uang pada saat tertentu.

Misalnya, saat musim sekolah, petani gagal panen, warga yang akan menggelar hajatan, atau kebutuhan dana yang meningkat jelang lebaran.

“Mereka (pihak bank emok) tahu betul informasi itu karena mereka sifatnya aktif mencari informasi di lingkungan masyarakat, kemudian mereka melakukan pendekatan individu.”

“Jadi ada faktor sosial antropologi di dalam ini. Bukan hanya sekadar motif ekonomi, tapi ada pendekatan sosial antropologi,” ujar Ketua Program Studi Ilmu Magister FEB Unpad ini.

“Kalau hari Rabu belum ada teh, pusing banget. Jadi pinjam ke kakak meski malu juga, buat setoran,” tutur Yati.

“Terus enggak sekali kan setoran itu, tiap minggu. Pernah pinjam juga ke pinjaman yang bunganya 50% buat setoran bank emok. Jadi malah nambah utang,” ujarnya kemudian.

Keresahan para ibu di Dusun Wates itu disadari oleh Ismal Muntaha, seniman yang tinggal di dusun itu dan sering berkegiatan bersama ibu-ibu tersebut. Kepada Ismal dan istrinya, Bunga Siagian, mereka kerap mengeluhkan pengalaman terjerat bank emok.

Diakui Ismal, ibu-ibu tersebut sangat bergantung dengan model peminjaman bank emok atau bank keliling karena rata-rata mereka buruh harian lepas.

Tiap kali ada kebutuhan mendesak, seperti membetulkan rumah yang rusak, biaya sekolah anak atau biaya pengobatan anak yang sakit, mereka akan bertumpu pada bank emok atau rentenir.

“Bank-bank kayak ginilah yang jadi jalan keluarnya karena kalau ke bank formal mereka gak punya jaminan, plus kita juga tinggal di tanah sengketa, tanah enggak ada sertifikatnya,” kata Ismal yang juga menjadi pengurus di Badan Kajian Pertanahan ini.

Sengketa tanah yang dimaksud Ismal adalah sengketa warga dengan pihak Landasan Udara Sugiri Sukani TNI Angkatan Udara.

Pada 2020 silam, Ismal dan Bunga mendapat undangan residensi seni di Inggris. Sayangnya, mereka batal berangkat lantaran terhalang pandemi Covid-19.

“Ide ini buat mereka, bahkan bisa langsung berdampak daripada ke Inggris bikin pameran. Saya ingat sekitar Rp20 juta - Rp25 juta kalau enggak salah, plus tabungan kami. Akhirnya itu yang kami pinjamkan ke ibu-ibu.”

“Sesederhana bilang, ‘Bu, gimana kalau minjamnya sekarang ke kami saja, bunganya 0 persen.’ Ibunya langsung waahh...” beber Ismal sambil tertawa.

Kendati tanpa bunga, bukan berarti pinjaman itu bebas syarat. Ismal menjelaskan debitur Mother Bank harus menyediakan waktunya kurang lebih dua jam untuk berkegiatan dan berkarya. Dua jam itu, jelas Ismal, adalah waktu yang biasanya dihabiskan para ibu saat pertemuan dengan bank emok.

“Saya sama Bunga ini melihat kalau dua jam ini dibuat kegiatan kolektif buat kepentingan kampung, bisa banget ini. Itulah prasyarat minjam uang ke Mother Bank, bunga 0%, kemudian ibu-ibu mesti investasi waktu,” ungkap Ismal.

Pada 2020, Mother Bank dibentuk dan kini beranggotakan sebelas orang. Selama empat tahun terakhir, banyak kegiatan yang telah dilakukan Mother Bank.

Pada tahun pertama setelah dibentuk, Mother Bank mengelola kebun bersama. Mereka memilih berkebun singkong karena dianggap paling mudah ditanam. Setelah panen, singkong itu kemudian diolah menjadi tepung mocaf, untuk mengganti ketergantungan pada terigu yang diimpor.

“Singkong itu kami coba modifikasi jadi tepung mocaf. Harapannya, bisa menggantikan terigu, bahkan dijual. Walaupun enggak berhasil sampai ke penjualan, hanya sampai bikin semacam acara masak bareng bahwa kami punya menu-menu baru dari tepung singkong, bikin mie, bolu,” sebut Ismal.

Uang rupiah ditukar ke koin tanah dengan nilai yang sama. Tujuannya, untuk mengkampanyekan Jatiwangi sebagai wilayah kebudayaan tanah.

“Inginnya sih punya mata uang tanah. Pasar ini itu juga cukup viral, bahkan omsetnya sampai Rp8 juta dalam satu kali pasaran,” sebut Ismal.

Tidak berhenti di situ, Ismal berencana membuat semacam Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pada tahun keempat Mother Bank dibentuk. Ismal berharap BUMDes ini bisa menjalankan program penanganan stunting.

Selain itu, pada 2022 silam, Ismal berinisatif membuat kegiatan kolektif yang menyertakan anggota Mother Bank di bidang musik.Terciptalah lagu berjudul “Jalan-Jalan” yang kemudian viral di dunia maya. Hasilnya, menurut Ismal, melampaui dugaan.

Kelompok musik Mother Bank pun terkenal dan kerap diundang ke beberapa ajang musik, seperti Pestapora pada 2023 di Jakarta dan Pertemuan G20 pada 2022 di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kini, Mother Bank sudah memiliki enam buah lagu.

Mother Bank juga menjadi model iklan sebuah bank swasta dan produk pasta gigi.

Kelompok musik ini terbilang unik, selain kostumnya yang menarik, alat musik yang digunakan berbeda dengan yang lain, yaitu menggunakan benda-benda yang terbuat dari tanah liat, seperti genteng dan tembikar.

Dengan berbagai kegiatan tersebut, ibu-ibu yang tergabung dalam Mother Bank merasa berdaya dan terbebas dari lilitan utang bank emok.

“Sekarang kan enggak ke bank saja, bisa bermusik, bisa tahu pengalaman ke mana saja, harus pintar juga,” ungkap Aan, salah satu anggota Mother Bank.

Hal senada diungkapkan Yati Sumiati yang mengaku kini bisa mengatasi utang-utang sebelumnya. Selain itu, bergabung dengan kolektif musik Mother Bank membawanya ke berbagai tempat seperti Yogyakarta, Magelang dan Sukabumi.

“Kita ini dulu ibu-ibu yang enggak tahu apa-apa, jadi bisa karena Mother Bank ini. Senang banget ada Mother Bank sudah pinjaman tanpa bunga, kita bisa dapat pengalaman juga, bisa belajar, bertemu dengan orang-orang tinggi,” aku Yati.

Namun setidaknya, keberadaan Mother Bank mengurangi ketergantungan warga pada bank emok.

“Beberapa ibu-ibu setidaknya agak mulai berkurang (meminjam ke bank emok), yang tadinya minjem ke beberapa bank, sekarang jadi berkurang, cuma jadi satu bank.”

“Pelan-pelan di Mother Bank sudah mulai berkurang ketergantungannya sama bank emok (karena dapat penghasilan tambahan). Kita dapat fee manggung dan fee iklan,” kata Ismal.

Pakar Ekonomi dari Unpad, Ferry Hadiyanto, mengamini bahwa bank emok sulit diberantas. Tiga riset yang pernah dilakukan Ferry, salah satunya berjudul The Role Business Incubator in Improving Family Welfare in West Java pada 2021, mengungkapkan bahwa kebutuhan akan bank emok justru muncul dari masyarakat sendiri.

Ketika masyarakat dalam kondisi berhadapan dengan kebutuhan yang mendesak, seperti hajatan atau gagal panen, mereka akan mencari uang dengan “risiko apa pun”, kata Ferry, termasuk mendatangi bank emok.

“Karena gagal panen, tapi dia harus masuk musim tanam berikutnya, engak punya uang atau modal. Salah satu sumber yang tepat bagi mereka itu adalah bank emok,” jelas Ferry.

“Jadi saling keterikatan inilah yang membuat kenapa bank emok ini atau boleh kita katakan sebagai rentenir ini masih survive dan masih sering muncul di berbagai daerah,” ujarnya kemudian.

Lebih lanjut, Ferry mengatakan bahwa bank emok masih eksis lantaran warga masih sangat bergantung pada rentenir untuk memenuhi kebutuhan dana cepat secara instan.

Situasi ini cenderung terjadi di pedesaan yang warganya minim akses terhadap lembaga keuangan dan minim literasi keuangan. Apalagi, warga di daerah pedesaan kebanyakan memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dengan sering kali tak mau direpotkan dengan urusan administrasi dan birokrasi saat melakukan pinjaman.

“Jadi masing-masing bergantung sebenarnya. Masyarakat ada ketergantungan karena butuh dana cepat untuk urusan mereka, bank emok berpikir ini konsumen prospektif yang akan memberikan keuntungan bagi mereka. Hal itu yang terus terjadi di masyarakat kita,” kata Ferry.

Hal ini diungkapkan Ismal, inisiator Mother Bank, yang mengeklaim salah satu kepala desa di Kebumen, Jawa Tengah, yang kewalahan dengan warganya yang terlilit utang tinggi. Akhirnya, aparatur desa turun tangan membantu membayar utang tersebut.

“Terus mereka mendengar Mother Bank ini, ‘Wah ini kalau di desa saya, ini bakal jadi program prioritas karena enggak cuma ngomongin solusi buat bank emok’,” kata Ismal menirukan ucapan si kepala desa.

Namun demikian, ekonom dari Unpad Ferry Hadiyanto menilai, gerakan swadaya masyarakat untuk mengatasi bank emok bisa terjadi jika daerah tersebut memiliki kondisi sosial masyarakat yang guyub dengan tradisi gotong royong yang masih kuat, sehingga memungkinkan dibentuk kelompok seperti Mother Bank.

Dia menuturkan, swadaya masyarakat untuk mengatasi bank emok ini sudah muncul di beberapa daerah di Jawa Barat, antara lain Purwakarta, Tasikmalaya, Banjar, dan Ciamis.

“Tapi itu memang benar-benar sifatnya local wisdom masing-masing daerah. Kalau untuk digeneralisasi tetap butuh bantuan atau sarana dan upaya pemerintah untuk membantu karena sangat sulit,” imbuh Ferry.

Dia mencontohkan Grameen Bank yang diterapkan di Bangladesh dan meraih penghargaan Nobel pada 2006, tak berhasil diterapkan di Indonesia.

Pemerintah, lanjut Ferry, telah melakukan berbagai upaya mengatasi praktik rentenir ini dengan memberikan fasilitas kredit berbunga ringan.

Pada 2015 silam, pemerintah mengulirkan program Permodalan Nasional Madani (PNM) Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera yang menyasar ibu-ibu prasejahtera berusia produktif namun tak memiliki akses terhadap lembaga keuangan yang ingin memulai atau mengembangkan usaha.

Program kredit ini memang ditujukan untuk memberantas praktik rentenir sehingga yang menjadi sasarannya adalah pelaku ekonomi kategori supermikro yang kebanyakan tidak memiliki agunan dan akses ke bank.

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Taufik Garsadi, menjelaskan pinjaman yang diberikan bukan untuk konsumtif atau Pendidikan, melainkan untuk modal usaha.

“Agar bisa mandiri, sebelum dapat kredit mereka dilatih dulu oleh BJB sehingga punya kemampuan untuk mengembalikan pinjaman,” jelas Taufik.

“Pinjamnya itu kecil-kecil, ada yang Rp500 ribu, ada yang Rp1 juta, Rp2 juta. Maksimal pinjaman Rp10 juta,” jelasnya kemudian.

Hingga Desember 2023, hampir 22 ribu pelaku usaha supermikro di Jawa Barat yang mendapat Kredit Mesra dengan total dana yang disalurkan sekitar Rp80 miliar. Sebagian dari debitur, kata Taufik, adalah korban rentenir.

Meski penyalurannya sudah sebanyak itu, Taufik menyebut belum semua pelaku usaha terjangkau kredit tersebut. Pasalnya, dari jumlah 1,8 juta pelaku usaha kecil di Jawa Barat, sebanyak 90% adalah pengusaha supermikro.

Oleh sebab itu, dia meyakini program pemerintah belum mampu memberantas rentenir atau bank emok di kalangan pelaku usaha, terlebih lagi kaum ibu yang berutang karena desakan kebutuhan hidup atau biaya pendidikan dan bukan target dari program kredit tersebut.

“Enggak [berhasil diberantas kalau melihat] dari jumlah karena [pemerintah dan BJB] terbatas alokasi anggarannya dan juga memang tenaga pendamping dari BJB juga terbatas,” jelas Taufik.

“Mereka (pihak bank emok) langsung datang, langsung bawa uang, cair deh. Kalau bank butuh proses dulu, dilatih dulu,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa minimnya administrasi dan pencatatan membuat pemerintah kesulitan menelusuri dan mendata kasus bank emok.

Intervensi yang dilakukan pemerintah, menurut ekonom Unpad, Ferry Hadiyanto, “sudah bagus”, kendati begitu dia mengakui sangat sulit memberantas bank emok.

“Oleh karena itu, perpanjangan tangan pemerintah itu harus ditingkatkan lagi,” katanya.

Itu, menurut Ferry, bisa dilakukan dengan menciptakan kompetitor dengan mengadopsi pendekatan bank emok yang personal.

“Kemampuan pendekatan bank emok dengan personal itu harus dilawan dengan pendekatan personal lagi. Sehingga masyarakat mempersepsikan bahwa lembaga yang disediakan pemerintah bisa memenuhi harapan mereka untuk menyediakan uang kapan pun,” ujar Ferry.

Lembaga yang bisa berperan sebagai “perpanjangan tangan pemerintah” adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan memperkuat kerja sama antara BUMDes denan pemerintah daerah, termasuk lembaga perwakilan desa untuk bisa menggali dan menggalang kearifan lokal di masing-masing daerah.

“Paling tidak, eksistensi BUMDes itu bisa sebagai pilihan atau alternatif lain buat masyarakat. Jadi mereka tidak tidak bergantung 100% kepada bank emok,” pungkasnya.

Gerakan warga seperti Mother Bank dan berbagai upaya pemerintah hingga kini memang belum berhasil memberantas bank emok. Tapi setidaknya, masyarakat dan pemerintah berupaya mengurai jeratan bank emok agar tidak banyak korban yang terjerat pinjaman berbunga tinggi, seperti akhir dari lirik lagu "Jalan-Jalan".

‘Marilah kita maju bersama. Makmurkan desa, bukan bayar bunga.’

Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi dalam liputan ini.

https://regional.kompas.com/read/2024/04/09/112200478/-mother-bank-saat-para-ibu-di-majalengka-lawan-rentenir-bank-emok-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke