Syarariah mengaku tidak menolak kehadiran IKN, bahkan dia menyebebut megaproyek ini “jangan sampai mangkrak” di era pemerintahan yang baru nanti. Hanya saja, dia ingin menjadi bagian dari IKN, bukan diusir dari tanahnya
Baca juga: Pemilu Tak Menghalangi Seleksi dan Evaluasi Investasi Asing di IKN
“Kami ingin ikut menikmati, katanya nanti IKN ini ada teknologi canggihnya, ada motor yang pakai listrik, kami ingin lihat lah itu, IKN itu bagaimana nantinya,” tutur Syarariyah.
“Kalau pemerintah punya kebijakan, ya kami tinggalkan di sini juga dengan kesehatan dan ekonomi terjamin.”
“Saya berharap pemimpin yang adil untuk kesejahteraan orang tempatan seperti di IKN, yang terdampak, yang tinggal di sini. Tolong lah disejahterakan semuanya. Saya mohon itu saja, segala halnya diperhatikan dari pendidikan. Saya tidak mau dia punya janji tapi tidak ditepati,” ujarnya.
“Ini tempat kami sendiri, masa tuan rumah mau dilempar ke sana kemari? Kan ndak mungkin.”
Pandi dan istrinya, Syamsiah, adalah salah satu di antara segelintir orang yang masih getol memperjuangkan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang terdampak proyek IKN.
Ketika ditemui pada Minggu (11/02), Pandi bercerita bahwa rumahnya nyaris masuk ke dalam area normalisasi Sungai Sepaku.
Sungai yang berada persis di belakang rumahnya itu akan diperlebar dan dibangun tanggul untuk mengendalikan banjir di wilayah IKN.
Pandi kemudian memprotes batas normalisasi itu, sebab itu berarti rumahnya akan tergusur. Alhasil, patok pembatas itu bergeser ke belakang rumahnya.
Tetapi itu tidak serta merta membuat Pandi lega. Kekhawatiran bahwa dia dapat tergusur kapan saja masih menghantui Pandi dan istrinya, Syamsiah.
Baca juga: Kapten Tim Provinsi Amin Jatim Optimistis Pemilu Dua Putaran
Apalagi, sebagai masyarakat adat dari Suku Balik, dia tidak memiliki sertifikat kepemilikan di tanah yang dia tinggali.
“Di sini saya berbuat untuk anak cucu saya ke depan. Karena kalau saya ndak berbuat, saya akan meninggakan anak cucu saya jadi sampah pemerintah,” kata Pandi kepada BBC News Indonesia.
“Kalau mereka tidak punya legalitas, begitu datang aparat, digusur. Di sini lah kami melawan ketidakadilan itu. Kami warga negara Indonesia, kami punya hak yang sama,” sambung dia.
Namun sejauh ini, tanggapan yang mereka dapat baru sebatas janji-janji tanpa hitam di atas putih.
Ketika pemilu semestinya menjadi ruang bagi harapan baru, Pandi justru merasa harapan itu “sangat tipis”.
Baca juga: Pemilu saat Valentine, Pemilih Dapat Setangkai Bunga dan Cokelat
“Siapa yang bisa menjamin kami ke depan, saya belum tahu siapa. Dari ketiga calon ini, saya melihat dari debat di media, banyak yang lebih memikirkan kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat,” kata Pandi.
Dia menyadari bahwa hak masyarakat adat sempat disinggung oleh salah satu pasangan calon, namun “masih sedikit sekali” dan tidak menggambarkan komitmen atau jaminan bahwa situasinyaa akan lebih baik untuk mereka.
Keraguan yang dirasakan Pandi adalah hasil dari “ketidakadilan” yang dia hadapi di tanahnya sendiri ketika megaproyek IKN datang dalam beberapa tahun terakhir.
Begitu pula ketika dia melihat pola serupa juga terjadi di Rempang, Wadas, dan tempat-tempat pembangunan proyek strategis nasional lainnya.
“Saya sulit mempercayai sekarang, hampir semua pejabat pemerintah itu…,” kata Pandi yang kemudian menghentikan kata-katanya.
Baca juga: Haedar Nashir Berharap Peserta Pemilu Legowo dan Tak Jemawa Terima Hasil Pemilu
Ketika ditanya apa yang dia maksud, dia mengatakan, “Ndak berani menjawab”. Pandi mengaku “lelah berjuang”, namun dia tidak akan berhenti “sampai ajal menjemput”.
“Suatu saat nanti, mudah-mudahan mata hati pemerintah terbuka,” ujarnya.
"Kalau masalah kampung kami ini mau dilestarikan, dijadikan wisata kampung adat, tapi itu kan baru katanya. Kami belum yakin. Pemerintah ini hanya katanya katanya," tutur Syamsiah.