Salin Artikel

Pemilu 2024 di IKN, Warga: Suara Kami Diminta, tapi Tidak Pernah Didengarkan

Mereka mengaku tak bisa berharap banyak bahwa hak pilih yang mereka salurkan di kotak suara, akan berbalik dengan didengarnya suara itu untuk mendapat keadilan.

“Itu pesta [demokrasi] untuk mereka yang senang, tapi untuk mereka yang sakit, merasa terzolimi,” kata Pandi, salah satu warga Suku Balik di Kampung Lama Sepaku, Penajam Paser Utara kepada BBC News Indonesia.

Ketika pembangunan Istana Negara dan gedung-gedung pemerintahan lainnya digencarkan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Nusantara, sebagian masyarakat terancam terusir dari kampung mereka.

Sebaliknya, bagi mereka yang merasakan berkah ekonomi dari pembangunan IKN, pemilu kali ini terasa “penting” untuk mempertegas keberlanjutan megaproyek ini.

BBC News Indonesia menemui sejumlah masyarakat yang terdampak hingga pekerja proyek soal bagaimana mereka memaknai pemilu pertama yang digelar sejak ada proyek IKN.

"Tolong disejahterakan semuanya"

Syarariyah, salah satu warga Desa Bumi Harapan, Penajam Paser Utara, mengaku tidak berharap banyak dari Pemilu 2024.

Keluarga Syarariyah tinggal menunggu waktu untuk tersingkir dari tanah kelahiran mereka, sebab lokasinya masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

Dalam beberapa tahun ke depan, rumah Syarariyah akan berganti menjadi jalan raya yang lebar, sebagai akses menuju IKN.

Keresahan akan tersingkir dari tanah itu terus menghantuinya. Oleh sebab itu, dia mengharapkan sosok pemimpin yang dapat memenuhi hak-hak masyarakat setempat dan melibatkan mereka dalam pembangunan IKN.

Namun ketika melihat visi-misi para kandidat sulit, baginya meyakini situasi yang dia hadapi akan membaik.

"Saya pikir dari ketiga capres itu, hampir tidak ada [yang memperhatikan masyarakat terdampak IKN," kata Syarariyah ketika ditemui di rumahnya pada Minggu (11/12).

"Dari tiga capres itu ada yang ndak mau melanjutkan IKN, salah satunya memikirkan industrinya sendiri, dan yang satunya lagi ndak tahu lah," tuturnya.

Sejak pembangunan proyek IKN kian gencar dalam beberapa tahun terakhir, Syarariyah sudah tidak pernah lagi menghirup udara bersih.

Jalan di depan rumahnya, yang dulu jarang dilintasi kendaraan, kini menjadi jalur utama truk-truk pengangkut material bangunan dan menyisakan debu yang tidak ada habisnya.

Dia juga harus berpacu dengan truk-truk itu setiap kali mengendarai motor untuk mengantar anaknya ke sekolah.

“Kami ini ibarat hidup di sini ini terancam. Nyawa bisa hilang, kesehatan ndak sehat,” kata Syarariyah ketika ditemui di rumahnya oleh BBC News Indonesia pada Minggu (11/02).

Sekitar 3,5 tahun lalu ketika kabar bahwa ibu kota negara akan pindah ke Penajam Paser Utara, Syarariyah termasuk salah satu yang menyambut rencana itu.

Dalam bayangannya, dia akan merasakan menjadi warga ibu kota. Namun nyatanya, Syarariyah dan keluarganya justru akan tersingkir dari tanah kelahirannya.

Rumah dan tanah yang dia tinggali masuk ke dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di IKN.

Sejumlah tetangganya di Desa Bumi Harapan telah pindah setelah menerima uang ganti rugi dari pemerintah dengan kisaran Rp90.000 hingga Rp250.000 per meter. Sementara harga tanah di sekitar wilayah IKN telah melonjak hingga di atas Rp1 juta per meter.

Syarariyah memang belum menerima surat penawaran atas tanahnya. Akan tetapi, dia tinggal menunggu waktu. Sudah berulang kali petugas pengukur lahan datang dan memasang patok di dekat rumahnya.

“Saya merasa tersingkir sedikit-sedikit kan sudah mulai tersingkir dengan IKN ini,” kata perempuan keturunan Suku Paser ini.

Syarariah mengaku tidak menolak kehadiran IKN, bahkan dia menyebebut megaproyek ini “jangan sampai mangkrak” di era pemerintahan yang baru nanti. Hanya saja, dia ingin menjadi bagian dari IKN, bukan diusir dari tanahnya

“Kami ingin ikut menikmati, katanya nanti IKN ini ada teknologi canggihnya, ada motor yang pakai listrik, kami ingin lihat lah itu, IKN itu bagaimana nantinya,” tutur Syarariyah.

“Kalau pemerintah punya kebijakan, ya kami tinggalkan di sini juga dengan kesehatan dan ekonomi terjamin.”

“Saya berharap pemimpin yang adil untuk kesejahteraan orang tempatan seperti di IKN, yang terdampak, yang tinggal di sini. Tolong lah disejahterakan semuanya. Saya mohon itu saja, segala halnya diperhatikan dari pendidikan. Saya tidak mau dia punya janji tapi tidak ditepati,” ujarnya.

“Ini tempat kami sendiri, masa tuan rumah mau dilempar ke sana kemari? Kan ndak mungkin.”

Ketika ditemui pada Minggu (11/02), Pandi bercerita bahwa rumahnya nyaris masuk ke dalam area normalisasi Sungai Sepaku.

Sungai yang berada persis di belakang rumahnya itu akan diperlebar dan dibangun tanggul untuk mengendalikan banjir di wilayah IKN.

Pandi kemudian memprotes batas normalisasi itu, sebab itu berarti rumahnya akan tergusur. Alhasil, patok pembatas itu bergeser ke belakang rumahnya.

Tetapi itu tidak serta merta membuat Pandi lega. Kekhawatiran bahwa dia dapat tergusur kapan saja masih menghantui Pandi dan istrinya, Syamsiah.

Apalagi, sebagai masyarakat adat dari Suku Balik, dia tidak memiliki sertifikat kepemilikan di tanah yang dia tinggali.

“Di sini saya berbuat untuk anak cucu saya ke depan. Karena kalau saya ndak berbuat, saya akan meninggakan anak cucu saya jadi sampah pemerintah,” kata Pandi kepada BBC News Indonesia.

“Kalau mereka tidak punya legalitas, begitu datang aparat, digusur. Di sini lah kami melawan ketidakadilan itu. Kami warga negara Indonesia, kami punya hak yang sama,” sambung dia.

Namun sejauh ini, tanggapan yang mereka dapat baru sebatas janji-janji tanpa hitam di atas putih.

Ketika pemilu semestinya menjadi ruang bagi harapan baru, Pandi justru merasa harapan itu “sangat tipis”.

“Siapa yang bisa menjamin kami ke depan, saya belum tahu siapa. Dari ketiga calon ini, saya melihat dari debat di media, banyak yang lebih memikirkan kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat,” kata Pandi.

Dia menyadari bahwa hak masyarakat adat sempat disinggung oleh salah satu pasangan calon, namun “masih sedikit sekali” dan tidak menggambarkan komitmen atau jaminan bahwa situasinyaa akan lebih baik untuk mereka.

Keraguan yang dirasakan Pandi adalah hasil dari “ketidakadilan” yang dia hadapi di tanahnya sendiri ketika megaproyek IKN datang dalam beberapa tahun terakhir.

Begitu pula ketika dia melihat pola serupa juga terjadi di Rempang, Wadas, dan tempat-tempat pembangunan proyek strategis nasional lainnya.

“Saya sulit mempercayai sekarang, hampir semua pejabat pemerintah itu…,” kata Pandi yang kemudian menghentikan kata-katanya.

Ketika ditanya apa yang dia maksud, dia mengatakan, “Ndak berani menjawab”. Pandi mengaku “lelah berjuang”, namun dia tidak akan berhenti “sampai ajal menjemput”.

“Suatu saat nanti, mudah-mudahan mata hati pemerintah terbuka,” ujarnya.

"Kalau masalah kampung kami ini mau dilestarikan, dijadikan wisata kampung adat, tapi itu kan baru katanya. Kami belum yakin. Pemerintah ini hanya katanya katanya," tutur Syamsiah.

"Kami ndak minta banyak, kami ndak pernah merampas hak orang. Ini kan tanah orang tua kami, nenek moyang kami yang kami pertahankan."

Namun apa yang diharapkan Pandi dan Syamsiah belum juga terwujud. Terkadang, dia mengaku lelah berjuang. Meski semangat itu kemudian timbul lagi lantaran khawatir dengan masa depan anak-anaknya.

Dia tidak mau anak-anaknya mengalami persoalan yang sama: terusir dari kampung sendiri karena tak memiliki legalitas atas tanah yang mereka diami berpuluh-puluh tahun lamanya.

"Siapa pun yang duduk di atas, tolong perhatikan kami. Keluarkan kami peraturan daerah pengakuan masyarakat adat itu biar kami tenang. Masalahnya, kami masih sangat ketakutan," kata dia.

Pemilu kali ini pun membuat dia merasa "bingung" karena situasinya berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Di satu sisi, hasil pemilu ini berpengaruh besar bagi nasib mereka. Namun di sisi lain, harapannya tipis untuk didengar.

"Masa suara kami diminta, tapi kami ndak pernah didengarkan," kata Syamsiah.

Meski demikian, Syamsiah dan Pandi menyatakan akan tetap menyalurkan hak pilihnya di kotak suara.

"Karena nasib kami nanti bergantung pada pemerintah," kata Pandi.

Sejak proyek IKN dicanangkan pada 2019, AMAN mengatakan belum ada pengakuan dan perlindungan hukum terhadap status masyarakat adat dan tanah yang telah mereka diami secara turun temurun.

Pengakuan secara hukum itu, menurut AMAN, penting untuk memastikan masyarakat adat tidak terusir dari tanahnya.

Akan tetapi dalam kontestasi pilpres, komitmen soal hak-hak masyarakat adat itu dinilai “luput” dari ketiga pasangan calon.

Dua dari tiga paslon dinilai menyinggung keberlanjutan IKN tanpa menyoroti hak-hak masyarakat adat. Sedangkan satu paslon lainnya belum cukup menjelaskan komitmennya terhadap masyarakat adat.

“Siapapun jadi presiden, tentu akan melanggengkan oligarki, tentu hanya pemainnya yang berbeda. Tidak akan berubah kalau kami melihat dari situasi dan visi-misi [para capres]. Tidak ada yang bicara soal hak masyarakat adat di IKN,” kata Duan kepada BBC News Indonesia.

Duan mengatakan hal itu bisa jadi merupakan pertanda buruk, mengingat pada 2015 lalu Presiden Jokowi yang berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat saja pada akhirnya justru mengabaikan hak-hak mereka.

Menanggapi keresahan masyarakat adat tersebut, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adwijaya mengatakan bahwa dalam proses pembangunan "tidak mungkin semua pihak terpuaskan".

"Bukan berarti yang tidak puas itu salah, mereka punya hak untuk mencoba meraih hak yang terbaik. Tapi lagi-lagi kalau kami bekerja, basis utama kami adalah aturan hukum yang berlaku," tutur Jaka menyinggung soal penentuan harga tanah untuk ganti rugi lahan warga.

Otorita IKN: kami optimistis

Meski tidak semua pasangan calon menyatakan komitmennya secara tegas soal keberlanjutan IKN, Sekretaris Otorita Jaka Santos mengatakan bahwa mereka "optimistis" soal keberlanjutan megaproyek ini.

Salah satu acuannya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Ibu Kota Negara.

"Sepanjang itu berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, kita tidak ada alasan untuk tidak menjalankan Undang-Undang, kecuali UU-nya semua disetop lalu ada perintah baru, ya itu tentunya keputusan rakyat, bukan keputusan pemerintah sendiri," kata Jaka.

Menurut Jaka, "yang namanya presiden pasti akan menjalankan UU".

"Jadi kita tidak perlu ragu soal itu. Bahwa nanti tiba-tiba meskipun tidak ditulis, tapi [proyeknya] dilaksanakan, ya itu karena melaksanakan UU. Kecuali UU-nya berubah," sambung dia.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/14/171800178/pemilu-2024-di-ikn-warga--suara-kami-diminta-tapi-tidak-pernah-didengarkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke