Mereka lantas berbincang-bincang dalam bahasa lokal sembari menyantap sirih pinang.
Yohanes bercerita selain Aleta Baun, tidak ada caleg lain yang datang menemui warga. Paling-paling hanya tim memberikan kalender bergambar muka sang caleg.
Namun, cara seperti itu, tak mempan bagi warga, katanya.
"Yang penting bagi kami di kampung harus melekat... menyatu dengan masyarakat."
"Kami lebih suka kalau [caleg] datang, ketemu, dan makan sirih pinang. Cukup dengan itu, bukan kasih uang."
Kira-kira setelah sepuluh menit lamanya Mama Aleta pamit pada Yohanes dan istri untuk melanjutkan perjalanan kampanyenya.
Baca juga: Saat Warga Binaan Lapas Karawang Tak Kenal Caleg pada Pemilu 2024...
Tak seberapa jauh, di pinggir jalan yang berdekatan dengan sungai, Mama Aleta kembali berhenti.
Dia menyapa warga, memberikan sirih pinang, dan membagi-bagikan kalender beserta Kartu Tanda Anggota (KTA) berasuransi yang bisa diklaim jika pemilihnya mengalami kecelakaan atau meninggal.
Tak ada janji-janji politik yang diumbar.
Ia menilai warga sudah jengah pada janji manis caleg yang tak dipenuhi.
Di Desa Bijaepunu, Kecamatan Mollo Utara, Aleta Baun hanya berpesan agar memilih 'anak Mollo' mewakili di DPR RI.
"Jadi saya mengharapkan bapa dong bantu kami kasih tahu keluarga pilih orang yang bisa pulang kampung..." katanya di hadapan warga yang tengah berkumpul.
Baca juga: Terbukti Lakukan Politik Uang, Caleg DPRD Nunukan Divonis 1,5 Bulan Penjara
Lumbung suara terbesar Aleta Baun ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 12 kelurahan, dan 266 desa.
Jumlah penduduk TTS berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 sebanyak 465.970 jiwa.
Bila ditinjau dari penyebarannya, total penduduk TTS terbesar terdapat di Kecamatan Kota Soe dan Amanuban Selatan.
Aleta berkata, ia manargetkan 100.000 suara di Pileg nanti. Kendati sebetulnya ia cukup mendapatkan 80.000 suara saja untuk menang.
Sejauh ini dia mengatakan sudah mendatangi 50 persen daerah pemilihan. Sisanya selain TTS, Aleta bakal menyasar wilayah lain di antaranya Kota Kupang, Belo, Malaka, Sabu Raijua, dan Rote Ndao.
Baca juga: PRT Caleg DPRD DKI Ngaku Dilarang Kampanye, Ternyata Miskomunikasi
"Kalau berangkat pagi, kami bisa menyambangi 10 sampai 30 rumah. Tapi kalau duduk dan bicara agak lama, bisa dapat delapan sampai sepuluh rumah saja," ujarnya sembari beristirahat di bawah pohon rindang.
Untuk menghemat waktu dan biaya, Aleta bersama tim biasanya menghabiskan dua sampai tiga hari di lapangan. Itu mengapa kadang kala dia numpang menginap di rumah warga.
Sebab, kalau harus pulang hari, katanya, "buang-buang tempo".
Belum lagi medan yang berat. Jangan bayangkan jalan di sepanjang Kecamatan Mollo Utara mulus.
Warga bercerita sudah 30 tahun jalanan di sini hancur berbatu. Kalau hujan, tak ada kendaraan atau angkutan desa yang bisa melintas.
Baca juga: PRT Jadi Caleg DPRD DKI Ngaku Dilarang Sosialisasi, Bawaslu Jaksel: Ada Miskomunikasi
Uang dari kantong pribadinya itu paling banyak digunakan untuk beli bensin, cetak kalender, konsumsi perjalanan, isi pulsa telepon, dan membeli keperluan sirih pinang.
"Semangat saya hampir habis, tapi tak bisa mundur"
Di tengah hamparan sungai yang kering, Aleta Baun rehat sejenak dan duduk di atas batu.
Ibu tiga anak ini lalu bercerita bagaimana energinya hampir habis karena berurusan dengan politik.
Kadang, ia bercerita, terlintas di pikiran ingin berhenti berkampanye tapi tidak bisa karena "warga sudah menggantungkan harapan padanya."
"Saya sebenarnya tidak mau, tapi ini desakan masyarakat... kalau saya tidak maju bagaimana kasus-kasus yang ada? Ada banyak kasus tanah-tanah adat diklaim negara," ucap sosok yang suka bicara blak-blakan ini.
Baca juga: Dukung Prabowo-Gibran, 2 Caleg PKB di Banten Dipecat
"Dan itu desakan masyarakat adat, jadi saya paksakan diri maju dengan hati yang berat," sambungnya sambil menghela napas dan raut wajah yang nampak kelelahan.
Satu hal yang menguatkan dan membuatnya bertahan adalah rasa tanggung jawab sebagai pejuang lingkungan.
Selain itu, pertimbangan tidak ada orang lain di Mollo yang bisa menggantikannya memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di arena politik.
"Belum ada penerus yang menggantikan saya maju untuk DPR memperjuangkan masyarakat adat dengan agenda begitu banyak."
Aleta Baun sebetulnya sudah pernah menduduki kursi DPRD Provinsi NTT pada periode 2014-2019.
Ia memilih terjun ke politik karena merasa lebih punya kekuatan untuk meramu atau mengintervensi sebuah kebijakan.
Dia pun tak perlu lagi 'kucing-kucingan' dengan kepala daerah lantaran dituduh sebagai provokator dan pengkhianat negara.
Baca juga: Dukung Prabowo-Gibran, 2 Caleg PKB di Banten Dipecat
"Kalau murni pejuang [aktivis] dan tidak berpolitik sulit... untuk ketemu bupati berdiskusi soal hak-hak rakyat tidak didengar."
Pada Pileg 2019, Aleta maju sebagai caleg DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hanya saja, ia kalah karena suaranya digembosi oleh timnya sendiri.
Ini kali, dia kembali melaju dengan harapan bila duduk di Senayan bisa menggolkan beleid UU Masyarakat Adat.
Di beberapa kesempatan dia kerap berdiskusi dengan akademisi untuk membahas peraturan daerah. Nyaris tak ada suara sumbang selama dia menjabat.
Itu mengapa Ahmad Atang menilai peluang Aleta Baun meraup suara di Dapil NTT II sudah tak diragukan lagi karena memiliki basis pemilih yang loyal.
"Dia bukan orang yang lahir dari atas ke bawah, tapi dari bawah ke atas. Apalagi dia figur yang kuat membela kepentingan warga, itu artinya dia punya basis yang loyal," katanya.
Karena alasan itu pula, Ahmad Atang memaklumi cara kampanye Aleta yang tak menebar baliho atau spanduk.
Baca juga: Tak Miliki Caleg, PSI dan Perindo Tak Ikut Pemilu di Pariaman