Namun, kegembiraan ekspor biji nikel pertama itu tidak berumur panjang. Sebelumnya, pada tahun 2009, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terbitlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Undang-undang itu mengharuskan perusahaan-perusahaan tambang untuk meningkatkan nilai ekonomi mereka sebelum diekspor keluar.
Ini adalah langkah pertama pemerintah memberi perhatian pada proses hilirisasi pertambangan di Indonesia. Undang-undang ini bertujuan meningkatkan keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia dari eksploitasi sumber daya alam.
Sederhananya, harga jual bijih nikel lebih murah dibanding jika sudah diolah atau dimurnikan. Dengan harga jual yang lebih tinggi, tentu pemerintah akan mendapat pajak yang lebih besar.
Konsekuensi dari undang-undang ini, setiap perusahaan tambang yang menjual hasil tambangnya ke luar negeri atau ekspor harus membangun smelter. BDM harus kembali merogoh kocek untuk membangun smelter.
Smelter nikel adalah fasilitas industri yang mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah. Prosesnya meliputi pemisahan, peleburan, dan pemurnian.
Implementasi larangan ekspor biji mentah sebagaimana diamanatkan UU Minerba baru ditetapkan pemerintah pada tahun 2014.
Ada waktu bagi BDM untuk membangun smelter. Pada 2013, setahun sebelum larangan ekspor, BDM kemudian menggandeng investor asal China, Tsingshan, anak usaha Dingxin Group, untuk membangun smelter nikel dengan nama PT Sulawesi Mining Investmen (SMI).
Smelter ini termasuk yang pertama dan terbesar di kawasan timur Indonesia yang dibangun sejak UU Minerba diberlakukan.
Di tahun yang sama digagas pula pembangunan kawasan industri pengolahan logam berbasis nikel di kawasan itu. Berdirilah PT IMIP pada 19 September 2013 menjadi pengelola kawasan.
IMIP juga merupakan perusahaan patungan BDM dan Tsingshan. Rencana pembangunan kawasan industri bahkan ditandai dengan kehadiran kepala negara Indonesia dan China.
Pada bulan Oktober 2013, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, mengawasi penandatanganan perjanjian kerja sama untuk mendirikan kawasan industri.
Setelah SBY lengser usai pemilu 2014, kebijakan hilirisasi nikel dilanjutkan oleh Presiden Jokowi. Dibangun di masa SBY, smelter SMI tahap pertama diresmikan Jokowi pada 29 Mei 2015.
Baca juga: Andalkan CPO, Turunan Nikel hingga Hasil Hutan, Mendag Targetkan Ekspor Non Migas Naik 4,5 Persen
Karena nilai strategisnya, pemerintah kemudian menetapkan IMIP sebagai salah satu objek vital nasional.
Dalam pidatonya saat peresmian, Jokowi mengatakan, jika diekspor dalam bentuk biji mentah harga nikel Sulteng hanya 30 dollar AS per metrik ton.
Sementara kalau sudah diolah menjadi setengah jadi harganya naik drastis jadi 1.300 dollar AS per metrik ton, dan kalau diekspor dalam bentuk stainless steel harganya jauh lebih tinggi menjadi 2.600 dollar AS per metrik ton.