“Jika tinja itu menyebar di lingkungan secara sembarangan dan anak-anak bermain di situ atau menggunakan air [tertular] sebagai sumber minum, maka bisa menginfeksi anak yang tidak memiliki kekebalan tubuh [belum mendapatkan imunisasi polio atau imunisasinya tidak lengkap],” kata Maxi.
Ketua Komnas Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan jika feses itu tidak dikelola dengan baik maka akan menciptakan lingkungan yang membuat virus berkembang dan bahkan bermutasi.
“Jika terkena anak-anak yang tidak kebal maka akan jadi sumber persemaian virus lagi,” ujar Hinky.
Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu tiga hingga enam hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu tujuh hingga 21 hari, di mana kebanyakan orang yang terinfeksi (90%) tidak menunjukkan gejala.
Kemenkes melaporkan virus polio yang menyerang ketiga anak itu adalah jenis VDPV Tipe 2. Maxi mengatakan VDPV ini berasal dari virus yang dilemahkan dan digunakan untuk vaksin polio oral.
“Ketika virus yang dilemahkan itu pindah-pidah, mengalami mutasi, dan ke pada anak yang kekebalan tidak kuat maka bisa terkena [polio],” kata Maxi.
Selain menyerang anak di Jawa, virus jenis ini juga pernah muncul di wilayah lain.
Pada Oktober 2022, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, AK, di Pidie, Aceh menderita polio, dan terdapat empat anak sehat positif VDPV2 di wilayah itu.
Kemudian pada Januari 2023, dua anak laki-laki, MF dan MR, terjangkit polio di Aceh Utara dan Bireuen, Aceh.
Baca juga: Ada Temuan Kasus di Klaten, 49.000 Anak Usia 0-7 Tahun di Solo Bakal Diimunisasi Polio
Sebulan kemudian, Februari 2023, anak perempuan empat tahun, NA, menderita polio di Purwakarta di mana di sana juga ditemukan tujuh anak sehat positif VDPV2.
Selain di Indonesia, Ketua Komnas PP KIPI Hinky Hindra mengatakan sirkulasi kasus polio VDPV Tipe 2 juga terjadi di seluruh dunia.
Menurutnya dari tahun 2016 terdapat 76 kasus virus ini di dunia. Hinky mengatakan, virus ini mulainya terindikasi ada di Nigeria Utara dan kemudian menginfeksi 18 negara lalu meluas di 70% wilayah Afrika.
“Virus yang sirkulasi di kita juga ada di Inggris, Israel dan juga Amerika Serikat. Ini problem dunia,” kata Hinky.
Saat ini masih terdapat dua negara endemis yang melaporkan penularan polio, yaitu Afganistan, dan Pakistan.
Baca juga: 15 Januari, Ribuan Anak di Semarang Bakal Dapat Vaksin Polio Tambahan, Ini Lokasinya
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya virus polio di Indonesia. Pertama adalah rendahnya cakupan vaksin polio di masyarakat.
Data Kemenkes pada tahun 2020 menunjukkan cakupan pemberian vaksin polio oral empat dosis (OPV4) rata-rata 86,8%, di bawah target nasional sebesar 95%.
Aceh menjadi provinsi terendah dengan 51,7%, lalu Sumatra Barat 57,9%. Sementara itu, cakupan untuk vaksin polio suntik (IPV) jauh lebih rendah yaitu hanya 37,7%.
Cakupan OPV4 kembali menurun di tahun 2021, yaitu sebesar 80,2%, sementara IPV meningkat menjadi 66,2%. Tingkat imunisasi OPV4 di Jawa Tengah sebesar 77,2% dan Jawa Timur 81,1%.
Baca juga: Lebih dari 150.000 Anak di Magelang Jadi Target Imunisasi Polio
Maxi mengatakan dua tahun pandemi Covid menjadi salah satu penyebab cakupan imunisasi menjadi rendah.
Senada dengan itu, Chief of Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda melihat dampak pandemi Covid-19 menyebabkan banyaknya kemunduran capaian target kesehatan Indonesia, terutama soal vaksinasi rutin.
“Dari survei puskesmas yang dilakukan CISDI, ini bisa akibat beberapa alasan, seperti berhentinya layanan, berubahnya metode dan jadwal layanan, takut terinfeksi, minimnya petugas yang melakukan vaksinasi karena layanan dialihkan ke vaksinasi Covid-19 dan upaya pengendalian Covid-19 lainnya.”
“Kemudian, begitu kasus Covid-19 mulai mereda pun, cakupan belum pulih sepenuhnya. Bisa jadi masih ada dampak dari pandemi yang menyebabkan masyarakat masih ragu ataupun menolak karena persepsi yang terbentuk dan misinformasi yang beredar selama proses vaksinasi Covid-19 kemarin,” kata Olivia.