"Kami bahkan menyurati Kemenko Marves dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk meminta informasi sampai mana keberlanjutan kasusnya, sampai sekarang mereka tidak memberi jawaban apa pun," ujar Arko.
Baca juga: Tragedi di Kawasan Industri Morowali, Proyek Strategis Nasional yang Diresmikan Jokowi
Padahal menurutnya, evaluasi dari setiap insiden penting sebagai perbaikan untuk keselamatan kerja di industri nikel yang berisiko tinggi.
Pemerintah dinilai "lemah" mengawasi kepatuhan perusahaan terhadap prosedur K3. Sementara itu, Arko menilai regulasi yang berlaku untuk pelanggaran prosedur pun dinilai sudah "sangat usang" sehingga "tidak memberi efek jera".
Sanksi yang berlaku merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, di mana ancaman pidana bagi pelanggaran kecelakaan kerja paling lama hanya tiga bulan dengan denda maksimal Rp100.000.
Akhirnya, pola penyelesaian perusahaan-perusahaan yang pekerjanya menjadi korban hanya sebatas memberikan ganti rugi, kompensasi, dan uang duka.
Baca juga: Kebakaran Tungku Smelter di Morowali Tewaskan 13 Pekerja
"Sementara pekerjanya terus dikorbankan, banyak yang meninggal. Ini seperti kurban yang terus berlanjut. Dalih perusahaan memberi kompensasi, bekerja sama dengan pihak terkait, tapi tidak pernah ada kejelasan sudah sampai mana perbaikannya," kata Arko.
Terkait sektor pertambangan dan pemurnian, juga terdapat Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018 yang mengatur lebih spesifik terkait kaidah pertambangan yang baik.
Salah satunya menyebut perusahaan yang melanggar K3 dapat diberi sanksi administratif berupa teguran, penghentian sementara kegiatan usaha, hingga pencabutan izin.
Tetapi dalam kasus ini, Kementerian ESDM mengatakan bahwa izin usaha industri PT ITSS sebagai pemilik tungku berada di bawah Kementerian Perindustrian. BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif terkait ini, namun belum ada respons.
Baca juga: Tungku Smelter Kawasan Industri Nikel Morowali Meledak, 12 Orang Tewas
Sementara itu, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Yuli Adiratna berjanji akan mengambil langkah hukum apabila terbukti ada prosedur K3 yang tidak diabaikan. Namun sejauh ini, tim investigasi baru akan turun ke lapangan pada Senin (25/12) untuk mengusut insiden tersebut.
Menanggapi kritik terkait lemahnya pengawasan pemerintah, Yuli mengklaim Dinas Ketenagakerjaan Sulawesi Tengah selama ini mengawasi secara rutin prosedur K3 di smelter IMIP.
"Bahkan mereka juga menyediakan klinik konsultasi, pendampingan bagaimana menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja," kata Yuli.
"Memang industri smelter ini kan termasuk industri yang punya potensi bahaya tinggi, memang tidak mudah mengendalikan keselamatan dan kesehatan kerja, tapi pemerintah terus melakukan pengawasan, pembinaan, dan pendampingan."
Baca juga: Kronologi dan Dugaan Penyebab Meledaknya Tungku Smelter di Morowali yang Tewaskan 12 Pekerja
Rentetan peristiwa yang terjadi di smelter nikel, menurut Trend Asia, menjadi catatan buruk terkait cara Indonesia dalam mengembangkan hilirisasi nikel.
Pemerintah pernah menekankan bahwa hilirisasi nikel dapat mendorong perekonomian Indonesia karena mengurangi ekspor bahan mentah.
Menurut catatan Kemenko Marves, nilai ekspor produk turunan nikel pada 2022 telah mencapai US$35,6 miliar atau 6,6 kali lipat lebih tinggi dibanding pada 2013 lalu. Apalagi permintaan terhadap nikel terus meningkat karena didorong kebutuhan untuk material baterai kendaraan listrik.
Tetapi capaian itu diwarnai oleh kritik soal dampak lingkungan dari eksploitasi nikel dan isu sosial, termasuk ketenagakerjaan seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Baca juga: Korban Meninggal akibat Kebakaran Tungku Smelter di Morowali Jadi 13 Orang
"Seharusnya Indonesia jangan melihat potensi ekonominya saja, tapi juga dampak sosialnya. Ini akan mempengaruhi bagaimana Indonesia dilihat di mata dunia, bahwa Indonesia tidak bisa menjamin pekerjanya untuk selamat," kata Arko.
Menurut Arko, pemerintah selama ini cenderung "serampangan" membuka jalan investasi untuk hilirisasi nikel tanpa menaruh perhatian serius pada aspek HAM.
"Kita bicara industri ekstratif, hilirisasi, kendaraan listrik, tapi kita tidak pernah melihat cikal bakal baterai ini dari mana. Ternyata, dari tempat yang berdarah-darah,"kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.