Anak pertama, yaitu Sukma (14) hanya bersekolah sampai tamat SD. Kondisi Sukma memiliki disabilitas wicara dan intelektual. Gara-gara itu orangtuanya tidak bisa melanjutkan pendidikan sang anak.
Sukma pernah ditawari di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berlokasi di Kecamatan Alas, tetapi orangtuanya tak mampu mengantarkannya karena jarak yang cukup jauh.
"Kami tidak punya kendaraan untuk antar tiap hari. Untuk makan saja susah, bagaimana kami akses SLB yang cukup jauh itu," ucap Sahami.
Baca juga: Polres Sumbawa Tetapkan 6 Tersangka Dugaan Korupsi Pembangunan Puskesmas Ropang
Sedangkan, anak kedua, Mahendra (13), tidak bisa merasakan bangku sekolah dasar. Kondisi Mahendra disabilitas wicara, intelektual dan autis.
Kondisi Mahendra serba terbatas, bagaimana pun upaya yang dilakukan untuk mengenalkan huruf dan angka sama sekali susah untuk ditanamkan.
Baca juga: Melihat Tradisi Malala, Meramu Minyak Tradisional Khas Sumbawa Saat Muharam
Sementara, Mahendri (12) sudah kelas satu SMP. Ia tidak memiliki disabilitas apa pun. Namun tubuhnya kurus, tidak seperti anak lain seumurannya.
Sahami dan Saparuddin berharap Mahendri bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi agar bisa membantu perekonomian keluarga di masa depan.
Kondisi ekonomi keluarga ini semakin merosot saat Program Keluarga Harapan (PKH) dicabut dari pemerintah pusat.
"PKH kami tidak lagi cair saat pandemi Covid-19 pada 2020. Entah apa alasannya," jelas Sahami.
Ia sudah melaporkan hal itu ke pemerintah desa dan petugas dari Dinas Sosial, tetapi tetap saja PKH sudah tidak aktif lagi.
Saat ini keluarga Sahami hanya menerima bantuan sembako dari pemerintah desa.
"Sembako itu berupa beras 10 kilo dan telur 40 biji tiap dua bulan. Bisa pilih sembako atau uang Rp 200.000. Tetapi Juli dan Agustus 2023 ini belum cair," ucap Sahami.
Berbagai upaya sudah dilakukan Sahami dan Saparuddin agar keluar dari kondisi kemiskinan ekstrem. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan kehidupan masyarakat desa yang serba terbatas membuat mereka masih terjebak di jurang kemiskinan.