Salin Artikel

Cerita Warga Miskin Ekstrem di Sumbawa: Anak Putus Sekolah, Pinjam Tanah untuk Bangun Rumah

SUMBAWA, KOMPAS.com - Saparudin (47) duduk di kursi reyot di rumah semi permanen yang jadi tempat tinggalnya di Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (8/8/2023). Ia yang tengah menunggu istrinya sedang memasak, tampak letih.

"Saya tak ada pemasukan sekarang," ujarnya lirih.

Keluarga Saparuddin terjerat dalam kemiskinan ekstrem. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh tani. Saparuddin membantu proses memanen padi di lahan sawah milik orang lain.

"Sebelum musim panen, saya tidak ada pekerjaan dan pemasukan harian," kata Saparuddin saat ditemui, Selasa (8/8/2023).

Ia membantu proses panen di sawah orang. Dari pekerjaan itu, ia mendapat upah dan gabah 3 sampai 5 karung, tergantung bagi hasil dengan pemilik sawah.

Sedangkan pendapatan harian kadang ada dan tidak. Saparuddin biasanya membantu proses pemupukan di lahan jagung orang dan diberikan upah Rp 50.000. Namun, pekerjaan itu tidak didapatkan setiap hari.

Terkadang, ia mendapat tawaran sebagai kuli bangunan. Pekerjaan itu juga tidak tetap karena mengandalkan tawaran dari tukang.

"Dalam sebulan penghasilan saya tidak tetap, kadang dapat Rp 150.000 sampai Rp 200.000. Tergantung rezeki saja kadang tak tentu berapa," cerita Saparuddin.

Sementara, sang istri, Sahami (50), juga membantu setiap pekerjaan yang dilakukan Saparuddin.

Seperti saat panen padi di sawah orang, Sahami bersama ketiga anaknya juga ikut membantu apa pun pekerjaan yang bisa dilakukan.

"Saya tidak pilih pekerjaan. Apa pun yang dilakukan suami, saya berusaha bantu. Saya juga jadi buruh tani," kata Sahami.

Untuk keperluan makan sehari-hari, keluarga ini menanam sayur, cabai, dan aneka rimpang di pekarangan rumah.

"Kami tidak beli sayur, tinggal petik di pekarangan rumah. Kadang beli ikan kalau ada uang saja," sebut Sahami.

Namun sayang, karena keterbatasan ekonomi, dua anak Sahami dan Saparuddin terpaksa putus dan tidak sekolah.

Sukma pernah ditawari di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berlokasi di Kecamatan Alas, tetapi orangtuanya tak mampu mengantarkannya karena jarak yang cukup jauh.

"Kami tidak punya kendaraan untuk antar tiap hari. Untuk makan saja susah, bagaimana kami akses SLB yang cukup jauh itu," ucap Sahami.

Sedangkan, anak kedua, Mahendra (13), tidak bisa merasakan bangku sekolah dasar. Kondisi Mahendra disabilitas wicara, intelektual dan autis.

Kondisi Mahendra serba terbatas, bagaimana pun upaya yang dilakukan untuk mengenalkan huruf dan angka sama sekali susah untuk ditanamkan.

Sementara, Mahendri (12) sudah kelas satu SMP. Ia tidak memiliki disabilitas apa pun. Namun tubuhnya kurus, tidak seperti anak lain seumurannya.

Sahami dan Saparuddin berharap Mahendri bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi agar bisa membantu perekonomian keluarga di masa depan.

Kondisi ekonomi keluarga ini semakin merosot saat Program Keluarga Harapan (PKH) dicabut dari pemerintah pusat.

"PKH kami tidak lagi cair saat pandemi Covid-19 pada 2020. Entah apa alasannya," jelas Sahami.

Ia sudah melaporkan hal itu ke pemerintah desa dan petugas dari Dinas Sosial, tetapi tetap saja PKH sudah tidak aktif lagi.

Saat ini keluarga Sahami hanya menerima bantuan sembako dari pemerintah desa.

"Sembako itu berupa beras 10 kilo dan telur 40 biji tiap dua bulan. Bisa pilih sembako atau uang Rp 200.000. Tetapi Juli dan Agustus 2023 ini belum cair," ucap Sahami.

Berbagai upaya sudah dilakukan Sahami dan Saparuddin agar keluar dari kondisi kemiskinan ekstrem. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan kehidupan masyarakat desa yang serba terbatas membuat mereka masih terjebak di jurang kemiskinan.

Warga Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini juga hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Cin tidak memiliki pekerjaan tetap. Penghasilannya sebagai pencari rumput pakan ternak juga tak menentu.

"Upah dari cabut rumput tidak tentu, kadang dikasih Rp 10.000 sampai Rp 20.000 per hari. Kalau tidak ada pesanan rumput ya tidak ada pemasukan harian," sebut Cin.

Dari hasil cabut rumput, Cin kadang bisa mengumpulkan Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per bulan tergantung rezekinya.

Kondisi rumah keluarga ini juga memprihatinkan. Dengan dinding spandek bantuan pemerintah desa, mereka bisa memiliki dinding dan atap hunian yang cukup layak.

Akan tetapi, rumah semi permanen ini tidak memiliki lantai yaitu langsung bersentuhan dengan tanah.

Bahkan, alas tidur hanya dilapisi tikar dan tergeletak begitu saja di atas tanah. Selain itu, tanah tempat bangunan rumah mereka adalah milik orang lain yang dipinjamkan.

"Kami dipinjamkan lahan untuk bangun rumah," kisah Cin.

Jika ia dan istrinya sudah meninggal, maka tanah dan rumah akan diambil lagi oleh pemilik lahan.

Ia yang sudah berusia senja hanya berharap bantuan dari pemerintah untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan ekstrem.

"Kami dapat bantuan sembako dari pemerintah desa. Alhamdulillah dapat beras 10 kilogram dan telur 40 biji per bulan," cerita Cin.

Lebih memperhatikan lagi, rumah ini tidak memiliki listrik sendiri. Mereka menumpang listrik di rumah tetangga yang dibayar per bulan sebesar Rp 20.000.

Sementara istrinya, Hajar (50), seorang ibu rumah tangga. Ia kerap sakit dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan berat seperti menjadi buruh. Ia hanya bisa memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Pengeluaran per hari tidak menentu. Kadang kami bisa beli ikan kecil harganya Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Kadang hanya makan sayur dan telur. Penting ada nasi dan bisa makan," kata Hajar.

Keluarga ini tidak memiliki keturunan. Cin dan Hajar hanya tinggal berdua dan berusaha bertahan di tengah kesulitan ekonomi keluarga.

Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumbawa akan memvalidasi Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) kepada desa-desa untuk menjadi rujukan dalam penanganan kemiskinan ekstrem.

"Data ini kita validasi lagi melalui musyawarah desa. Kami juga verifikasi dengan dinas teknis seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Capil)," kata Sekretaris Bappeda Kabupaten Sumbawa, Wahyu Indra Jaya saat dikonfirmasi Selasa (8/8/2023).

Menurutnya, permasalahan kemiskinan ekstrem dilatarbelakangi oleh fenomena seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi dan lainnya.

Upaya ini dilakukan sebagai amanat Presiden Jokowi yang menargetkan masalah kemiskinan ekstrem nasional di tahun 2024 entas menjadi 0 persen.

Ia menjelaskan, kemiskinan ekstrem di Sumbawa tergolong kecil. Miskin ekstrem, menurutnya, merupakan kategori pada masyarakat yang pendapatannya di bawah Rp 350.000 per bulan.

"Kalau kita mau jujur, kategori ekstrem ini pengeluaran Rp 10.000 per hari tidak ada lagi. Apalagi faktanya masyarakat kita konsumtif," ucap Wahyu.

Menurut Wahyu, agar bantuan sosial tepat sasaran, diperlukan penyesuaian dan verifikasi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Dinas Sosial, data keluarga berisiko stunting Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A), data rumah tidak layak huni di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (PRKP).

Dengan program yang ada dan melibatkan multi-stakeholders, angka kemiskinan ekstrem di Sumbawa pada 2023 diharapkan bisa turun ke angka 0,9 persen.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/08/171058678/cerita-warga-miskin-ekstrem-di-sumbawa-anak-putus-sekolah-pinjam-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke