SUMBAWA, KOMPAS.com - Matahari mulai bersinar saat Muslimin (50) menyiapkan aneka bahan-bahan dan rempah alami untuk memulai malala, Selasa (1/8/2023).
"Sebelum mulai malala, kita siapkan dulu aneka rempah dan dipetik langsung di hutan sambil dibaca doa," kata Muslimin saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Malala adalah tradisi bagi suku Sumbawa, NTB, saat bulan Muharam dalam kalender Hijriah.
Baca juga: Korsleting, Tiga Rumah dan Satu Gudang Ludes Terbakar di Sumbawa NTB
Tradisi malala yaitu membuat minyak obat tradisional dari bahan kelapa, sarang burung, madu dan ramuan rempah alami yang dididihkan dengan kayu bakar.
Pembuatan minyak Sumbawa ini hanya bisa dilakukan oleh seorang tabib atau dukun yang disebut sandro dalam bahasa Sumbawa.
Baca juga: 40 Tahun Penantian, Warga Desa Pulau Bungin NTB Akhirnya Dapat Air Bersih
Kebiasaan sandro melakukan malala adalah mengaduk ramuan minyak menggunakan tangan dalam keadaan mendidih dan saat nyala api sedang membara.
Sudah puluhan tahun Muslimin melakoni profesi sebagai sandro. Ia meramu minyak yang dinamai ramuan surga.
"Langsung bisa dikonsumsi. Yang aduk pertama itu harus saya dulu sebagai sandro. Untuk doa dan mantra yang dibaca hanya sandro yang tahu," kata Muslimin, salah satu sandro dari Kelurahan Seketeng.
Menurutnya, cara pemakaian minyak Sumbawa berbeda-beda, bisa diminum atau digunakan sebagai minyak urut.
"Minyak ramuan surga juga bisa menangkal dan sembuhkan guna-guna. Selain manfaat lainnya bisa tingkatkan vitalitas pria, pegal linu, dan luka dalam," sebut Muslimin.
Bagi masyarakat Sumbawa, tradisi ini lekat dengan budaya dan alamnya. Ini dibuktikan dengan pembuatan ramuan obat tradisional dari bahan-bahan yang alami.
Prosesi itu hanya bisa dijumpai selama bulan Muharam. Pada momen itu, para sandro atau tabib meramu obat. Aneka nama minyak Sumbawa disematkan oleh sandro sesuai khasiatnya.