Di Desa Boenaga, yang terpisah jarak sekitar satu jam berkendara dengan kapal, kondisinya begitu berbeda dari Pulau Labenki.
Pemandangan bukit-bukit hijau Pulau Labengki menghilang sepanjang perjalanan, digantikan bukit-bukit tanah kecokelatan.
Di dermaga, dasar laut tidak terlihat karena air begitu keruh. Bahkan di sebagian tempat di desa, air berwarna cokelat kemerahan.
Tidak ada anak-anak yang berlompatan dan bermain di laut.
Seorang nelayan Bajau bernama Lukman menuturkan bahwa sebelum ada kegiatan tambang nikel di desanya, ia biasa memancing ikan di dekat rumah.
“Iya, biasa di depan sini,” kata Lukman sambil menunjuk ke air cokelat. “Tapi bagaimana kalau begitu, coba dilihat. Beda toh dengan Labengki?”
Baca juga: Mbo Gentong, Pelestari Adat Kelahiran Anak Suku Bajau di Teluk Tomini
Sulawesi Tenggara memiliki Izin Usaha Pertambangan nikel terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022, terdapat sedikitnya 50 perusahaan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara.
Pemukiman Lukman letaknya bersebelahan dengan salah satu tambang nikel.
“Kalau nelayan sih susah sekali sekarang [hidupnya],” kata Lukman yang kami temui di rumahnya.
“Kalau orang mau kerja di tambang, ya bagus. Gaji sudah memuaskan. Kalau seperti saya kan nelayan tok, memang susah.”
Sukayah, istri Lukman, berkata kini nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk menangkap ikan agar bisa bebas dari perairan tercemar.
Dengan begitu, menurut Lukman, biaya solar bisa jadi lebih besar dari keuntungan yang didapat.
Lukman mengaku merasa tidak berdaya. Tapi untuk melakukan protes menolak tambang, apalagi sampai berurusan dengan penegak hukum, dia tak kuasa.
“Jadi masyarakat diam saja, terima saja.”
Baca juga: Buah Manis Usaha Suku Bajau Jaga Hutan Bakau untuk Anak Cucu
“Dampak buruk itu jelas pasti ada. Tapi ada juga dampak yang baik,” kata Jufri Asri, kepala dusun di Desa Boenaga yang bermukim tidak jauh dari Lukman.
Harga ikan, kata Jufri, lebih tinggi di Boenaga ketimbang di Kendari.
“Mungkin karena banyak perusahaan, banyak yang membutuhkan ikan,” terang Jufri.
Anak tertua Jufri bekerja di salah satu tambang nikel. Ini diakui Jufri membantu perekonomian keluarga.
Selain itu keluarga Jufri, seperti kepala keluarga lain di Desa Boenaga, mendapatkan biaya kompensasi per bulan dari tambang dengan besar antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta.
Kompenasi ini, sebut dia, lumrah disebut sebagai 'uang debu'.
Baca juga: Rindu Dendang Suku Bajau di Teluk Tomini
“Perjanjian dengan perusahaan itu per bulan, misalkan dalam satu bulan produksinya sedikit, otomatis pemberiannya juga sedikit,” kata Jufri.
Sesuai namanya, menurut Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia, sebuah organisasi yang mengampanyekan pembangunan berkelanjutan, “uang debu” adalah ganti rugi atas kegiatan hilir mudik kendaraan tambang yang membuat rumah-rumah warga yang dilalui berdebu.
“Asumsi kami dasar aturannya mengacu kepada UU Minerba yang terbaru tepatnya pasal 145,” kata Novita.
Namun di berbagai area pertambangan, kesepakatan untuk kompensasi dari perusahaan tambang kepada warga lokal bisa berbeda-beda, seperti distribusi air bersih atau bentuk CSR (Corporate Social Responsibility).
Baca juga: Rayakan Lebaran Hari Ke-7, Suku Bajau Serumpun Makan Ketupat dengan Ikan