KOMPAS.com - Kota Bukittinggi adalah sebuah kota di Provinsi Sumatera Barat yang berjarak sekitar 90 kilometer arah utara dari Kota Padang.
Kota yang terletak di rangkaian Pegunungan Bukit Barisan ini berada di tepi Ngarai Sianok dan dikelilingi oleh dua gunung yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi.
Baca juga: Dampak Gempa Bukittinggi, Tebing di Ngarai Sianok Longsor
Dengan luas wilayah 25,24 km², Bukittinggi merupakan kota terbesar ke-6 dan pemilik PDRB terbesar ke-2 di Provinsi Sumatera Barat.
Kota Bukittinggi terkenal dengan beberapa bangunan ikonik seperti Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, serta Janjang Koto Gadang
Tak hanya itu, Kota Bukittinggi juga menjadi kampung halaman bagi tokoh Proklamator Kemerdekaan sekaligus Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta.
Baca juga: Benteng Fort de Kock, Jejak Belanda di Bukittinggi pada Masa Perang Paderi
Dalam buku Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat (1983) yang disusun Dr. Taufik Abdullah dkk, sebelum menjadi kota, Bukittinggi merupakan sebuah nagari yang bernama Nagari Kurai.
Secara adat, Nagari Kurai berada di bawah satu payung dengan nagar-nagari sekitarnya seperti Nagari Banuhampu, Nagari Sianok, dan Nagari Koto Gadang.
Baca juga: Tak Hanya di Bukittinggi, Obyek Wisata Sejarah Lubang Jepang Juga Ada di Padang
Dilansir dari laman Kementerian Agama Sumatera Barat, berdirinya Kota Bukittinggi diawali dengan adanya sebuah pasar yang berdiri serta dikelola oleh penghulu Nagari Kurai.
Orang Minangkabau biasa menyebutnya sebagai pakan, di mana pakan ini hanya buka pada hari Sabtu saja.
Dari sebuah pakan yang sepi, dan lama-kelamaan pengunjung yang datang semakin ramai, pada akhirnya pakan ini dibuka juga pada hari Rabu.
Pakan di negeri Kurai tersebut terletak di perbukitan yang tinggi sehingga disebut Bukittinggi.
Seiring berjalannya waktu, pakan itu kemudian berubah nama menjadi Pasar Ateh, sementara sebutan Bukittinggi sendiri menjadi julukan untuk negeri Kurai.
Sumber lain menyebutkan bahwa pasar itu diberi nama Bukik Kubangan kabau, namun setelah terjadi pertemuan adat Suku Kurai yang kemudian mengganti nama menjadi Bukik Nan Tatinggi.
Nama tersebut kemudian menjadi Bukittinggi, sedangkan nama pasar di Kurai menjadi Pasar Bukittinggi.
Hingga akhirnya pada 1823, Belanda datang ke Dataran Tinggi Agam di saat Pasar Bukittinggi ini sudah ramai didatangi oleh penduduk.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.