Dilansir dari laman Pemerintahan Kota Bukittinggi, pada masa penjajahan Belanda, Bukittinggi berstatus sebagai sebagai Gemetelyk Resort berdasarkan Staatsblad tahun 1828.
Setelah pembangunan benteng Staatsblad oleh Kapten
Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek, kota ini kemudian dikenal dengan nama Gemeente Fort De Kock.
Pada tahun 1833 terjadi perjanjian Plakat Panjang yang pada akhirnya menghasilkan perjanjian bahwa Nagari Kurai menjadi pusat kegiatan Ekonomi Fort de Kock.
Statusnya kemudian naik menjadi Staad Gemeente Fort De Kock, sebagaimana diatur dalam Staatsblad No. 358 tahun 1938 dengan luas wilayah sama dengan wilayah Kota Bukittinggi sekarang.
Kota ini juga digunakan oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.
Kemudian pada masa penjajahan Jepang, kota ini bernama Bukittinggi Shi Yaku Sho, dimana daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuah yang sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Agam,
Kota ini sempat menjadi tempat kedudukan komandan Militer Jepang seluruh Sumatra di bawah pimpinan Jendral Kobayasi, sekaligus pusat latihan Gyugun untuk daerah Sumatera Barat bagian utara.
Di kota ini, pemerintah Jepang juga mendirikan pemancar radio terbesar di Pulau Sumatera untuk mengobarkan semangat rakyat dalam perang Asia Timur Raya.
Setelah masa Proklamasi Kemerdekaan, Kota Bukittinggi menjadi sebuah kota yang berhak mengatur dirinya sendiri sesuai ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Kota Bukittinggi sempat menjadi ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949, tepatnya setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Peristiwa ini juga telah ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.
Selanjutnya, Kota Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Provinsi Sumatera.
Kemudian melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 4 tahun 1959, Kota Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Setelah keresidenan Sumatera Barat dikembangkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, Bukittinggi sempat ditunjuk sebagai ibu kota provinsi.
disempurnakan
Namun pada tahun 1958, secara de facto ibu kota provinsi telah berpindah ke Padang.
Baru pada tahun 1978 hal itu diresmikan secara de jure dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1979 yang memindahkan ibu kota Provinsi Sumatera Barat ke Padang.
Saat ini, Bukittinggi berstatus sebagai kotamadya daerah tingkat II sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintah di Daerah, dan telah dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 menjadi Kota Bukittinggi.
Sumber:
bukittinggikota.go.id, sumbar.kemenag.go.id, tribunnewswiki.com
Abdullah, Taufik, dkk. 1983. Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.