Ini merupakan penyerangan kantor polisi kedua dalam dua pekan terakhir di Sulawesi Selatan.
Baca juga: Selidiki Kasus Penyerangan Mapolres Jeneponto, Polda Sulsel Terjunkan Tim Forensik
Sebelumnya, pada 14 April 2023 dini hari, Polres Pelabuhan Makassar, Polsek Pelabuhan, dua pos polisi lalu lintas, dan dua motor dinas juga menjadi sasaran serangan orang tak dikenal.
Pada hari yang sama, Polrestabes Makassar mengungkap penyerangan itu dipicu kesalahpahaman yang berujung dendam antara personelnya dengan prajurit TNI.
Atas kejadian itu, Kapolda Sulsel Irjen Setyo Boedi dan Pangdam XIV/Hasanuddin Mayjen Totok Imam Santoso sepakat damai.
Selain di Sulsel, perusakan pos dan pembakaran kendaraan milik polisi terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 20 April.
Kapolda NTT Irjen Johni Asadoma melaporkan empat anggotanya mengalami luka-luka akibat insiden yang dipicu 'kesalahpahaman' anggota Polri dan Polisi Militer Angkatan Darat (POM-AD) yang sedang melaksanakan pengamanan pertandingan futsal setempat.
Baca juga: Pangdam XIV/Hasanuddin Bantah Anggota TNI Terlibat Penyerangan Mapolres Jeneponto
Polda NTT dan TNI dilaporkan membentuk tim investigasi untuk mengusut tindak kekerasan tersebut.
Setelahnya, berdasarkan hasil investigasi, baik TNI maupun Polri akan menghukum personel masing-masing. Hukuman yang akan diberikan bergantung pada hasil temuan penyelidikan.
Gufron Mabruri selaku direktur LSM Imparsial menyatakan, rangkaian kejadian penyerangan terhadap fasilitas kepolisian harus direspons Presiden Joko Widodo.
Terlebih lagi, kasus seperti ini bukan persoalan baru.
Selain Imparsial, beberapa organisasi lainnya seperti Centra Initiative, PBHI Nasional, dan ELSAM juga mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Satuan Angkatan Darat (KSAD) dan Panglima TNI untuk segera memastikan tidak ada lagi tindakan penyerangan dan kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI terhadap fasilitas apa pun.
"Kami mendesak semua pihak, khususnya aparat keamanan untuk memastikan rasa aman masyarakat dan menjaga situasi yang kondusif di semua tempat," tulis keempat organisasi itu dalam siaran pers yang diterima BBC News Indonesia pada Kamis (27/4) malam.
DPR juga diminta melakukan fungsi pengawasan yang efektif untuk memastikan proses hukum berjalan dengan benar dan adil, serta fungsi kontrol sipil yang demokratis.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, penyerangan kantor polisi oleh TNI “bukan hal yang baru”, yang biasanya diawali percekcokan atau benturan antar anggota polisi dan TNI di lapangan, “di luar tugas dan fungsi” mereka.
Latar belakang keduanya yang sama-sama dicetak untuk memiliki mental kompetitif dan mental juara, dinilai Fahmi, membuat mereka cepat tersulut emosi dalam menanggapi “persoalan sepele”.
Sebelum kejadian penyerangan Polres Jeneponto, Pangdam Mayjen Totok mengungkap ada kesalahpahaman antara anggota oknum TNI AD dengan oknum Polres Jeneponto.
Namun, dia menegaskan, kesalahpahaman itu "belum dapat disimpulkan sebagai penyebab penyerangan".
Baca juga: Begini Kondisi Polisi yang Tertembak Saat Mapolres Jeneponto Diserang OTK
Dalam beberapa kasus penyerangan kantor polisi, kesalahpahaman selalu disebut sebagai faktor pemicu.
Menurut Direktur Imparsial Gufron Mabruri, “persoalan lama yang sering kali terjadi” ini disebabkan rendahnya tingkat kedisplinan dari para anggota institusi keamanan yang dibarengi dengan “Jiwa Korsa yang tidak ditempatkan pada tempatnya”.
“Misalnya ada konflik yang melibatkan satu, dua orang, kemudian salah satunya dengan membangun solidaritas koprs matra TNI kemudian mengajak anggota lainnya untuk melakukan aksi balas dendam. Ini pola yang banyak terjadi,” kata Gufron kepada BBC News Indonesia, Kamis (27/4/2023).
Seharusnya, lanjut Gufron, jiwa korsa ditempatkan dalam konteks tugas-tugas TNI, bukan dalam konteks untuk “tujuan kriminalitas”.