Khairul Fahmi dan Gufron Mabruri sama-sama menyebut “kontrol internal” sebagai faktor penyebab kekerasan yang selalu berulang antar-anggota kedua lembaga.
Gufron menganggap “lemahnya kontrol internal” menyebabkan anggota TNI “nyelonong” melakukan aksi “vigilante” atau main hakim sendiri.
“Ini pertanyaan buat pimpinan, buat komandan, harus ada evaluasi sejauh mana efektivitas kendali komando, kontrol, pengawasan terhadap pasukannya. Jangan sampai dengan alasan rivalitas antar institusi, sesuatu yang tidak boleh dilakukan, tapi diam-diam disetujui. Itu efek dari sebuah pembiaran,” ujar Gufron.
Menurut Fahmi, pemimpin juga harus menunjukkan “keteladanan dan kemampuan melakukan pengawasan”, jangan malah “larut” dalam solidaritas anggotanya.
Baca juga: Kapolda Sulsel Kunjungi Markas Polres Jeneponto Usai Diserang OTK
“Misalnya ingin memberi contoh adanya sinergitas antara dua kelompok kuat ini, sinergitas yang tulus yang ditunjukkan. Jangan sampai di depan senyam-senyum, salam-salaman, rangkul-rangkulan, di belakang bergosip, bergunjing, saling menjelekkan satu sama lain,” kata Fahmi memberikan saran.
Menurut Gufron Mabruri, pembiaran terhadap penyerangan kantor polisi di beberapa wilayah berbeda “tidak bisa dibenarkan” karena akan berdampak pada efektivitas pelaksanaan tugas kedua institusi keamanan, yang pada akhirnya merugikan publik.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, konflik antara TNI dengan Polri akan memberikan dampak buruk terhadap situasi keamanan dan pertahanan negara.
"Terlebih, konflik antara dua lembaga yang memiliki massa besar bahkan memiliki wewenang untuk menggunakan senjata akan turut membahayakan masyarakat sipil," kata Andi kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Mapolres Jeneponto Diserang OTK, Bom Molotov Meledak dan Satu Polisi Tertembak
Oleh sebab itu, kata Gufron, masalah ini perlu dibenahi secara tuntas, mulai dari membenahi kedisiplinan, jiwa korsa, kontrol internal, sampai harus ada penegakan hukum
“Mereka itu institusi negara, aparat keamanan, yang seharusnya menjunjung tinggi aturan hukum, kalau mereka melakukan aksi kekerasan, mereka harus mendapat sanksi yang jauh lebih berat dibandingkan ketika pelakunya adalah warga negara,” tegas Gufron.
Menurut hasil pemantauan Kontras, mayoritas kasus kekerasan antara TNI dengan Polri tidak ada penyelesaian secara hukum.
Andi Muhammad Rezaldy menyebut hanya kasus penyerangan Polsek Ciracas diselesaikan lewat jalur hukum.
“Saat ini sudah ada 65 anggota TNI yang diproses secara hukum,” kata Andi.
Sepanjang masa kepemimpinan Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI, Kontras mencatat setidaknya ada 19 konflik antara TNI dengan Polri, meliputi penganiayaan, penembakan, bentrokan, perusakan fasilitas, dan intimidasi.
Baca juga: Mobil Polisi Ditemukan Hangus Terbakar di Pinggir Sawah, Sempat Hebohkan Warga Jeneponto
“Kami juga mencatat rangkaian konflik yang ada telah berimplikasi 26 korban baik luka maupun meninggal dunia, dengan rinican enam dari TNI dan 20 dari Polri,” ujar Andi memaparkan.
Ketika TNI mendapat lebih banyak sorotan dalam hal ini, Khairul Fahmi mengatakan, Polri juga perlu diingatkan agar para anggotanya “lebih berhati-hati, menjaga sikap, dan perilaku dalam pergaulan di tengah masyarakat”.
“Sebagai lembaga yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat, lembaga ini masih belum cukup berhasil memperbaiki kepercayaan maupun citra dan reputasinya yang memburuk di mata masyarakat setelah didera sejumlah masalah,” ujar Fahmi.
Wartawan Muh Aidil di Makassar, Sulawesi Selatan, berkontribusi dalam artikel ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.