JAMBI, KOMPAS.com - Setelah mengalami macet horor selama lebih dari 22 jam di jalan nasional, warga Jambi menggugat pemerintah Rp 5 triliun.
Penggugat berasal dari Aliansi Masyarakat Jambi Menggugat (AMJM). AMJM telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jambi, Rabu (8/3/2023) pagi.
"Gugatan kita lakukan karena pemerintah dan perusahaan telah merampas hak-hak publik masyarakat di jalan nasional," kata Koordinator AMJM, Ibnu Kholdun melalui sambungan telepon, Rabu (8/3/2023).
Baca juga: Kemacetan 22 Jam di Jambi: Ikan Mati, Sopir Tekor, dan Penumpang Ambulans Meninggal
Ia mengatakan, gugatan Rp 5 triliun itu untuk memperbaiki jalan yang berada di Kabupaten Sarolangun, Tebo, Batanghari, Muarojambi, dan Kota Jambi.
Masyarakat yang berada di lima kabupaten kota ini menerima dampak langsung dari aktivitas angkutan truk batu bara.
Gangguan kenyamanan tidak hanya karena kemacetan, melainkan kebisingan, debu batu bara, dan jalan yang rusak.
Baca juga: Kronologi Siswi SMP di Jambi Diperkosa dan Dibunuh secara Sadis di Tengah Kebun Kelapa Sawit
"Itu bukan soal nominal Rp 5 triliun. Yang jelas tanggung jawab pemerintah harus hadir di masyarakat," kata lelaki yang menakhodai Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini.
Yang menjadi tergugat pertama, sambung Kholdun, adalah Menteri ESDM. Kemudian tergugat kedua, Gubernur Jambi Al Haris, disusul dengan 8 perusahaan batu bara.
Kholdun menilai, Kementerian ESDM dan Gubernur Jambi dianggap melawan hukum karena memberikan izin IUP batu bara, tetapi tidak menyiapkan regulasi terkait sarana dan prasarana jalan.
Pengangkutan batu bara di Jambi, justru menggunakan jalan nasional yang sebenarnya untuk masyarakat umum.
Ribuan truk batu bara melewati jalan tersebut sehingga kerap terjadi kemacetan yang mengganggu masyarakat.
Dengan demikian bila tergugat terbukti bersalah, tergugat harus membayar kompensasi Rp 5 triliun untuk perbaikan jalan dan biaya kesehatan masyarakat.
Kemudian, tergugat harus menghentikan operasi angkutan batu bara sampai jalan khusus dapat digunakan. Artinya tidak lagi menggunakan jalan nasional.
Penggunaan jalan nasional untuk kepentingan angkutan batu bara telah melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia.
"Tentu ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Akibat perbuatan mereka kita tidak bisa hidup sehat dan hidup nyaman," kata Kholdun.