Padahal, sesuai Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual terhadap korban penyandang disabilitas atau anak, semestinya bisa diproses hukum tanpa delik aduan. Oleh sebab itu, meskipun tidak ada laporan dari keluarga korban terkait kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas, aparat tetap dapat menegakkan proses hukum.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas belum berjalan dengan baik.
“Ini kan yang masih menjadi catatan adalah bagaimana korban bisa menjadi bukti atau saksi di dalamnya,” kata Fitri.
“Dalam prosesnya, meski bukan lagi delik aduan, tapi kan tidak bisa keterwakilan itu (kesaksian korban) disampaikan oleh orang lain. Kalau korban dalam prosesnya tidak kooperatif, tidak bisa dipanggil, kemudian prosesnya seperti apa?” terang Fitri.
“Ini yang menjadi belum menjadi terobosan karena ini masih menjadi sandungan teknis pemeriksaan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Fitri menilai, dibutuhkan sebuah terobosan dalam pemeriksaan korban dan saksi dalam penyelidikan kasus kekerasan seksual terhadap disabilitas. Misalnya, keterangan korban bisa diambil melalui penamping atau tenaga ahli.
“Kecuali sekarang ada kelonggaran terkait bukti penguat. Misalnya, ada beberapa lewat media kan bisa bisa bukti penguat.”
“Bisa juga kalau memang pendamping, tenaga ahli, dan psikolog, kalau misal boleh dianggap sebagai keterwakilan sebenarnya bisa menjadi terobosan (dalam penyelidikan),” kata Fitri menjelaskan.
Selain soal sulitnya proses hukum, persoalan serius lainnya yang dihadapi perempuan disabilitas korban kekerasan seksual adalah stigma dan pengucilan dari masyarakat.
Ketua Paguyuban Disabilitas SEHATI Sukoharjo, Edy Supriyanyo, mengungkapkan, penyandang disabilitas belumlah dianggap setara dalam masyarakat. Oleh karena itu, ketika ada perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, proses hukum dan penegakan keadilan untuk mereka pun sulit diupayakan.
Inilah yang terjadi pada FE, seorang anak perempuan penyandang disabilitas intelektual di Sukoharjo, yang telah tiga kali menjadi korban kekerasan seksual. Pada 2016 lalu, FE diperkosa hingga hamil oleh seorang pria lansia yang merupakan tetangganya sendiri. Hingga kini, pelaku tidak pernah dihukum dan kasus ini berakhir damai.
Baca juga: Gubernur BEM Fisip Unri Diduga Lakukan Kekerasan Seksual terhadap Mahasiswi, Terduga Membantah
FE pun melahirkan bayinya. Bayi itu kemudian diasuh ibunda FE, yang juga merupakan penyandang disabilitas serta pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Nestapa FE tidak berhenti di sana. Pada 2020, FE kembali menjadi korban kekerasan seksual. Kali ini, pelakunya adalah seorang pria lansia yang menyewa kios di rumahnya. Sama seperti kasus pertama, pelaku pun tidak pernah dihukum.
Kemudian, pada September 2022, FE diculik oleh seorang pembeli di warung ibunya. Ia dibawa lari ke daerah Gunung Kidul dan mendapat kekerasan seksual.
“Dia kan bantu-bantu di warung ibunya, lalu dibawa lari orang asing. Sampai malam hari enggak ketemu, dicari-cari info di beberapa jaringan, akhirnya anak ini ditemukan di Polsek Wonosari,” terang Edy.