Buntunya proses hukum
Selama RH dan keluarganya mendapatkan perlindungan, pemulihan trauma, dan pelatihan di Sentra Terpadu Prof Dr Soeharso, penyelidikan terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa anak disabilitas mental itu sebenarnya sudah berlangsung.
Berdasarkan keterangan RH, ada dua orang lansia yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual terhadapnya. Kedua lansia itu adalah tetangga RH.
“Salah satu tersangka mengakui perbuatannya, sedangkan satu pelaku lainnya mengaku melakukan hubungan atas dasar suka sama suka,” tutur Suhartiningsih, Fasilitator Lapangan Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Solo yang menjadi pendamping korban.
Namun, meski telah ada dua orang yang diduga kuat sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap RH, mereka tidak pernah ditangkap. Kasus tersebut bahkan akhirnya berujung damai.
Keterangan korban yang berubah-ubah disebut menjadi salah satu kendala dalam proses hukum. Terlebih, korban sempat mengalami trauma hingga sulit diajak berkomunikasi.
Keluarga pun akhirnya hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa pelaku pemerkosaan terhadap RH, yang merupakan tetangga mereka sendiri, masih bebas beraktivitas tanpa pernah dihukum. Kini, mereka memilih fokus merawat bayi dan memulihkan kondisi RH.
Kisah RH barangkali masih lebih baik jika dibandingkan dengan dua perempuan disabilitas korban kekerasan seksual di Sukoharjo, SA dan PA. Kedua perempuan dengan kondisi disabilitas intelektual itu menjadi korban kekerasan seksual hingga hamil, tetapi tidak dapat memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum.
Kasus SA dan PA sempat dilaporkan ke polisi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat pada 2021 lalu. Namun, laporan tersebut kemudian justru dicabut oleh keluarga korban.
Tidak berhenti di sana, keluarga juga terkesan ingin menutupi kasus kekerasan seksual tersebut dengan menyembunyikan korban. Korban SA diungsikan ke rumah kerabatnya di lain desa, sedangkan PA dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Jakarta.
“Memang keluarga tidak menghendaki untuk proses (hukum) lebih lanjut. Penyelesaian kami kemudian situasinya dengan (keluarga) korban,” tutur Fitri Haryani, Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo.
Baca juga: Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Sesama Jenis di UNS Solo, Korban Difasilitasi Melapor
“Posisinya kemudian, mereka enggak mau melanjutkan pelaporan, hanya sebatas anaknya diungsikan keluar wilayah, ke saudara. Lebih untuk menghindari stigma, lebih pada menutupi aib,” kata Fitri menerangkan.
Fitri menerangkan, pada banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel, khususnya penyandang disabilitas intelektual, proses hukum memang kerap buntu.
Sulitnya memintai keterangan dari korban menjadi salah satu penyebab buntunya proses penyelidikan polisi. Di lain sisi, bukti-bukti langsung atas kasus kekerasan seksual yang menimpa korban juga sulit didapatkan.
Dalam kondisi tersebut, kesaksian korban tentu menjadi salah satu kunci pengungkapan kasus. Namun, di hadapan hukum, kesaksian korban kekerasan seksual dari masyarakat disabilitas, kerap disangsikan.