KOMPAS.com - Dayah Diniyah Darussalam yang ada di Kabupaten Aceh Barat bukan pondok pesantren biasa.
Hanisah, pimpinannya menjadikan dayah ini rumah aman bagi anak dan korban kekerasan seksual. Hukum syariat yang berlaku di Aceh, kata dia, gagal memberikan keadilan untuk korban.
Bangunan pesantren itu sederhana saja, terdiri dari ruang-ruang kelas dan kamar-kamar santri dengan cat dinding warna hijau.
Saban hari, sekitar 25 anak tinggal dan mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di dayah - atau pondok pesantren - yang terletak di Desa Meunasah Buloh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Baca juga: Saat Tidur di Ruang Perawat, Bidan di Lampung Diperkosa Rekan Kerjanya
Sekitar 22 tahun lalu, Hanisah yang kini berusia 45 tahun mendirikan Dayah Diniyah Darussalam bagi anak-anak korban konflik, agar tetap bisa mengenyam pendidikan layak.
Kala itu Aceh masih dirundung konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Republik Indonesia.
“Sebelumnya [untuk] anak yatim piatu yang ayah dan ibunya ditembak mati [saat konflik]," kata dia.
“Tapi di sini, semua kita terima,” kata perempuan yang dipanggil ‘umi’ atau ‘ibu’ oleh para santri, kepada wartawan Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Saat azan Magrib berkumandang, Hanisah bersama guru-guru yang lain bergabung dengan para siswa untuk salat berjamaah dan belajar ilmu agama hingga azan Isya berkumandang.
Baca juga: Kasus Pemerkosaan Bocah 8 Tahun di Ambon, Pelaku dan Korban Tetangga Dekat
Namun bagi Hanisah, transformasi pondok pesantrennya dia rasakan betul sekitar 10 tahun setelah didirikannya.
Ketika itu, dia menerima seorang anak berusia 15 tahun yang sedang hamil, korban perkosaan inses oleh ayah kandungnya.
Korban itu, kata Hanisah, ditampung bersama adiknya yang diusir dari kampung mereka.
“Jadi, sudah diusir dari kampung, tidak diterima oleh saudara-saudaranya. Maka dirujuk ke dayah kami,” ujar Hanisah.
Baca juga: Pendarahan, Bocah 8 Tahun Korban Pemerkosaan di Ambon Dirawat di RS
Niat mulai Hanisah menampung korban itu ternyata justru membuat pondok pesantrennya diusir dari kampung dan harus pindah ke lokasi baru.
“[Kata warga] anak itu tidak baik. Maka kalau diterima anak itu di pesantren, kampung itu dibilang tidak baik,” kenang dia.
Karena desakan warga itu, Hanisah yang baru pulang dari Filipina untuk memenuhi undangan sebuah acara, mengepak seluruh barang dan mengajak seluruh siswanya pindah.
Kejadian malam itu tak membuat Hanisah mengurungkan niatnya membantu para korban kekerasan seksual.
Dayah Diniyah Darussalam justru membuka lembaran baru sebagai rumah aman untuk tempat perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan seksual lainnya.
Baca juga: Detik-detik Korban Pemerkosaan Petugas SPBU di NTT Berjalan Lemah ke Polres Nagekeo Laporkan Pelaku
“Ada kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum, anak pencurian, perempuan diperkosa secara beramai-ramai hingga hamil, ada kawin penculikan, perzinaan," kata dia.