GORONTALO, KOMPAS.com – Sebanyak 32 burung ibis rokoroko (Plegadis falcinellus) melintas di langit tepi Danau Limboto, tepat di atas bekas dermaga pendaratan Bung Karno dengan pesawat ampibi di tahun 1951.
Formasi terbang burung ini membentuk huruf V, membentuk siluet indah sebelum semakin mengecil ke arah utara.
Langit Gorontalo tak begitu membiru, sama seperti 2 tahun terakhir ini, banyak hari-hari diguyur hujan.
Baca juga: Akhir Pekan, Perburuan Burung Marak di Danau Limboto, Pemburu Incar Jenis Tertentu
Gugusan pegunungan kapur yang memagari lembah Gorontalo menghijau, perdu dan semak tumbuh subur.
Pemandangan ini berbeda jika kemarau tiba, hanya ada bukit coklat kusam yang terlihat, sebagian tanaman mati, lainnya merana kekeringan.
Danau Limboto, salah satu dari 15 danau kritis di Indonesia merupakan kawasan lahan basah yang menjadi pusat mata pencarian ribuan orang.
Di semua sisi danau ini terdapat perkampungan, yang sebagian besar warga menyandarkan ekonominya dari kemurahan alam, membudidayakan ikan dalam karamba jaring apung, menangkap ikan, berdagang ikan hingga membuka warung keperluan nelayan.
Di tengah danau yang jauh dari permukiman warga, Anton Matani (57) seorang diri mengikatkan tali plastik di tubuhnya, ujung lain tali ini diikatkan pada perahu kayu mungil yang berwarna kuning.
Ia menceburkan diri menyelam di dasar danau, tidak lama kemudian ia kembali ke permukaan, mengatur nafas yang pendek-pendek, matanya terlihat merah karena terlalu berada di dalam air, kulit pundaknya legam terlihat mengkilap diterpa sinar matahari.
Anton baru saja menyembul dari dalam danau, tangannya melemparkan seekor ikan manggabai sebutan local untuk Bareye Goby (Glossogobius giuris) ke dalam kaleng berisi air di dalam perahunya. Anton sudah menangkap beberapa ekor ikan jenis ini.
Ia melihat kampungnya, Desa Bua, Kecamatan Batudaa dari tengah danau, terlihat perdu, deretan pohon kelapa di tepi desa, permukiman, dan bukit yang meliuk-liuk.
Baca juga: Pertama Kali, Burung Kerak Perut-pucat Ditemukan di Danau Limboto
Ada anak istri di salah satu sudut desa itu. Untuk kebahagiaan mereka ia setia melakoni pekerjaan ini sejak lama.
Anton kembali memusatkan pikirannya, menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen, lalu kembali menyelam dalam air danau yang berwarna kecoklatan ini.
Di dasar danau yang berlumpur ia meraba-raba dan meraih potongan bambu yang memiliki panjang 40 sentimeter tanpa buku, kedua sisinya berlubang.
Saat bambu teraba tangan, ia segera mencari kedua sisi dan menutup lubangnya rapat-rapat.
Ia memastikan dalam bambu ini ada isinya, mengguncang-guncangnya hingga seekor manggabai kaget dan berusaha keluar dari salah satu sisi tabung bambu ini.
Ikan ini berusaha menerobos di salah satu lubang namun tangan Anton yang menyisakan celah mungil di sela jarinya segera menjepit dan menggenggam ikan khas danau ini.
Saat ikan terpegang dengan baik, ia segera mendorong tubuhnya ke permukaan air, bernafas sejenak dan melemparkan manggabai di tangannya ke dalam kaleng di atas perahu kayu berwarna kuning.
Keterampilan menangkap ikan manggabai di kedalaman Danau Limboto ini tidak banyak dimiliki nelayan Gorontalo. Cara unik menangkap ikan ini dinamakan dulopo.
“Sejak muda saya mencari ikan dengan cara ini,” kata Anton Matani.
Meski terlihat hanya menggunakan tangan, cara menangkap ikan seperti ini membutuhkan modal dan keterampilan. Modal fisik adalah bambu yang sudah dipotong tanpa buku, kedua ujungnya berlubang.
Selain itu juga harus memiliki kemampuan menyelam di air danau yang cenderung gelap.
“Saya sudah meletakkan 1000 potongan bambu di bawah air ini, pada kedalaman 3,5-4 meter,” ucap Anton Matani.
Baca juga: Tablasupa Papua, Kampung dengan Keindahan Alam Bawah Laut dan Pengamatan Burung Cenderawasih
Potongan bambu ini ia bawa dari kebunnya, tidak sekaligus. Ia bawa sesuai kemampuan dan daya muat perahu kayunya, bambu ini ditenggelamkan di dasar danau sedikit demi sedikit, butuh beberapa hari hingga mencapai jumlah yang dirasakan cukup untuk dijadikan “ladang” pemanenan ikan liar.