Abd Hafidz Olii menjelaskan ikan dari keluarga ini umumnya sebagai bentos, hidup di dasar peraiaran. Tak heran jika nelayan menemukan ikan ini celah batu atau benda lain di atas lumpur dasar danau.
Menariknya lagi, dari sisi kebahasaan Gorontalo istilah dulopo ini memiliki makna khusus, yaitu menyelam untuk tujuan sesuatu.
“Dalam makna menyelam orang Gorontalo mempunyai 2 kata utama yakni Tinulopo dan Dulopo. Yang pertama bermakna menyelam secara umum, yang kedua menyelam untuk tujuan sesuatu,” kata Suleman Bouti seorang dosen di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo.
Modulopo otili, tola, manggabai adalah aktivitas biasa bagi mereka para pencari ikan. Manggabai ramai di danau karena adanya ikan ini di danau.
Modulopo otili, tola, manggabai berarti menyelam mencari ikan sidat, gabus (Channa striata), manggabai.
“Waktu saya kecil jaga badulopo ikan tola dan sogili biar mo luka itu jari (wakyu saya kecil saya sering menyelam menangkap ikan gabus dan sidat, meskipun berisiko terluka jari,” ujar Suleman Bouti.
Menurut Suleman Bouti dulopo adalah menyelam mencari ikan dengan mengandalkan tangan tanpa alat bantu penglihatan dan pernafasan, tangab meraba-raba dasar perairan, hanya berdasarkan perasaan.
“Penyelam tidak tahu apakah yang ditangkap ini ular, sidat atau apa,” kata Suleman Bouti yang diiringi gelak tawa.
Dulopo diduga sisa tradisi menangkap ikan di zaman manusia prasejarah sebelum ditemukan alat-alat tangkap yang memudahkan manusia. Pada masa itu kehidupan manusia masih sangat sederhana, mereka memenuhi kebutuhannya dengan mengumpulkan makanan dari alam, termasuk dalam memenuhi kebutuhan protein hewaninya.
Masa itu merupakan tahapan awal peradaban manusia yang dikenal dengan kegiatan berburu (hunting) dan mengumpulkan makanan (food gathering). Danau Limboto menyediakan dengan mudah semua kebutuhan manusia pada masa itu.
Danau Limboto juga dikenal sebagai sisa danau purba yang pernah ada, pada masa kuarter 1,8 juta tahun lalu Gorontalo memiliki danau besar yang membentang dari Kota Gorontalo hingga ke lembah Paguyaman di Kabupaten Boalemo. Hasil penelitian menyebutkan ada endapan danau dari bentang daerah tersebut.
Seiring berjalannya waktu, danau purba ini kian menyurut dan menyempit, dinamika pergerekan lempeng bumi dan sedimentasi perlahan membuat danau ini mengecil, hingga tersisa 2500 ha.
Sepanjang tahun, 23 sungai dan anak sungai membawa sedimentasi dan sampah menuju danau di tengah lembah dataran Dehuwalolo ini. Pembukaan hutan dan area lain untuk ladang pertanian dan alih fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS) Limboto telah menyumbang sedimen yang yak terhitung banyaknya, hingga kini belum mampu teratasi pemerintah.
Sedimen ini membentuk substrat yang kaya unsur hara di dasar danau, menyediakan ruang kehidupan bagi ikan yang habitatnya di dasar.
Penangkapan dengan cara dulopo (menyelam) hanya dikenal di sekitar Batudaa, sementara di sisi lain danau ini tidak dijumpai kebiasaan ini. Diduga di wilayah ini masih menyisakan kedalaman air yang dibutuhkan untuk habitat jenis ikan ini dan mudah dijangkau masyarakat.
Di sisi lain danau ini tidak terlalu dalam namun lebih banyak lumpur, sisi ini yang banyak ditemukan muara sungai dan anak sungai, bahkan endapan ini sebagian telah berubah menjadi daratan yang dijadikan lahan bercocok tanam masyarakat setempat.
Danau Limboto kini tengah menghadapi perubahan, proyek revitalisasi yang berjalan beberapa tahun telah mengubah wajah danau kritis ini.
Di pinggir danau, dari Kelurahan Dembe Kecamatan kota Barat Kota Gorontalo hingga ke Desa Pentadio di Kecamatan Talaga Biru Kabupaten Gorontalo telah membentang tanggul besar. Tanggul ini disusun dari timbunan tanah oleh alat berat selama beberapa tahun ini. Di sepanjang tanggul ini telah berdiri tiang-tiang listrik berdaya energi matahari.
Di Desa Tabumela yang masih berada di area tanggul, sebuah pintu air telah dibangun sebagai outlet yang akan mengalirkan air danau menyatu dengan Sungai Tapa/Bolango sebelum mengalir ke Teluk Tomini.
Proyek besar revitalisasi Danau Limboto ini telah banyak mengubah wajah danau paling kritis di Indonesia ini, sebagaian besar enceng gondok yang menutupi permukaan telah disingkirkan, namun di sisi lain tanaman ini juga tumbuh subur, sepertinya para pekerja pembersih yang menggunakan perahu bermesin saling berkejaran dengan tanaman apung ini.
Sinar matahari telah meninggi, di sebuah titik di tengah danau, Anton Matani terus timbul tenggelam mencari manggabai. Ia tak peduli suara dendang burung tikusan alis putih, White-browed Crake (Amaurornis cinerea) yang bersahutan di dalam tanaman air di tepi danau.
Anton Matani terus meraba-raba dasar danau, mencari potongan bambu dan berharap ada manggabai yang beristirahat di dalamnya. Seekor demi seekor ditangkap, ia membayangkan akan menguntainya dengan seutas tali dari pelepah pisang, seperti yang dilakukan selama ini, seperti yang diajarkan orang tuanya dulu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.