Di museum ini terdapat peralatan musik dari berbagai suku yang ada di Papua, seperti tifa, terompet, stand bass, dan berbagai peralatan musik lainnya.
Hendriko yang juga merupakan Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih mengemukakan, ada peralatan budaya lain yang dapat menghasilkan bunyi atau suara. Benda-benda ini memiliki korelasi dengan musik.
Menurut Hendriko, benda-benda budaya yang dapat menciptakan suara seperti koteka dan ikat pinggang yang dimiliki oleh Suku Walsa di Waris.
Ketika digerakan, benda-benda tersebut akan menimbulkan suara. Begitu pula dengan benda budaya yang ada di daerah Wagete Paniai.
“Ini benda-benda budaya yang digunakan oleh masyarakat Papua di daerah-daerah tertentu yang ketika digunakan akan menciptakan suara atau bunyi, sehingga bisa menciptakan musik,” tuturnya.
Baca juga: Saat Kapolda Papua Barat Terima Senjata Api yang Dijadikan Maskawin oleh Warga...
Tak hanya itu, Hendriko menambahkan, di museum ini terdapat bermacam-macam koleksi benda budaya milik orang Papua.
Seperti peralatan perang yakni tombak, tulang kasuari, perisai dan lain sebagainya.
Selain itu, ada peralatan benda yang biasa digunakan untuk pembayaran maskawin dari berbagai suku di Papua, misalnya kapak batu, gelang dan kalung dari taring babi atau kasuari, kain timur, piring gantung.
“Museum ini menyimpan beragam benda budaya yang sangat melekat dengan kehidupan orang Papua, seperti benda-benda untuk pembayaran maskawin dan benda-benda yang digunakan untuk peralatan perang,” ujarnya.
Baca juga: Kumpulkan Data Penyandang Disabilitas di 29 Kabupaten/Kota, KPU Papua: Memang Belum Akurat
Di dalam museum ini terdapat beberapa tengkorak kepala manusia yang masih tersimpan.
Ada kurang lebih empat tengkorak kepala manusia yang menjadi koleksi.
Dia menyebutkan bahwa tengkorak kemenangan atau musuh, dahulu pada umumnya digantung secara berkelompok di pintu masuk rumah keluarga.
"Semua tulang rahang bekas kepala musuh selalu dibuang dan diberikan kepada perempuan yang digunakan sebagai gantungan kalungnya," kata Hendriko.
Baca juga: Ajudan Bupati Mamberamo Tengah Menyerahkan Diri ke Propam Polda Papua
Menurut Hendriko, tengkorak di beberapa desa atau kampung dicat dengan warna merah, putih, dan hitam dengan simbol kasuari di dahinya.
Mata dan lubang hitung tengkorak-tengkorak ini diisi dengan lilin lebah dan disisipi dengan biji perunggu dan biji abrus merah, serta sedikit kerang.
Beberapa koleksi tengkorak ini kini menjadi salah satu benda budaya yang tersimpan di museum tertua tersebut.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Sulteng, Sultra, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat 27 Juli 2022