Jenis kopi arabika yang ditanam oleh petani HKm Kibuk dengan pertimbangan ketinggian lahan ideal di atas 1.000 MDPL dan nilai jualnya lebih tinggi dibandingkan robusta.
“Sekarang saya masih menanam sayur. Karena proses dari menanam dan panen cepat, bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi nanti setelah kopi arabika sudah mulai bisa panen, saya akan fokus di kopi arabika dengan alpukat sebagai selingannya,” ujar Hendrik.
Saat ini, 1.500 batang kopi arabika di lahan yang diolah Hendrik tengah belajar berbuah.
Hendrik memperkirakan kebun kopinya sudah bisa dipanen pada musim panen tahun depan. Tahun ini adalah masa-masa persiapan panen.
Dengan perawatan yang tepat, buah kopi panen tahun depan akan memberikan hasil yang optimal.
Baca juga: Banyak Petani Kopi Tanpa Sengaja Tersangkut Hukum, Ini Kata Bupati Bener Meriah
Pada 2018 masa awal HaKI memberikan bantuan bibit kopi arabika untuk para petani HKm Kibuk, dia kurang yakin.
Hendrik masih pada pola pikir konvensional untuk terus menanam sayur di lahan yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung tersebut.
Namun dia tidak membantah, tetap menanam kopi arabika di lahannya.
Dengan tanaman penaung alpukat, Hendrik malah tidak sabar menanti hasil alpukatnya.
Selain fungsinya sebagai tanaman penaung untuk kopi, alpukat Pagaralam sudah terkenal dengan kelezatannya.
Namun setelah mengikuti pelatihan pengolahan kopi, Hendrik menyadari bahwa aset sesungguhnya yang ada di kebunnya adalah kopi arabika.
Dengan perawatan dan proses pascapanen yang tepat, kopi arabika yang ditanam di lahannya bisa dijual dua kali lipat daripada robusta.
Baca juga: Karena PMK, Petani Bantul Kehilangan Tabungan Mereka
Setelah melakukan proses pascapanen, green bean (biji siap sangrai) kopi robusta asalan bisa dijual Rp 18.000 sampai Rp 22.000.
Sementara kopi robusta petik merah berkisar Rp35.000 sampai Rp 45.000.
Sedangkan green bean kopi arabika petik merah bisa dijual di kisaran Rp 75.000 sampai 90.000, bahkan di atas Rp 100.000 bila mencapai kelas kopi specialty.