KOMPAS.com - Keributan antarwarga terjadi di kawasan Jalan Pemuda, Kelurahan Tampan, Kecamatan Payung Sekaki, Kota Pekanbaru, Riau, Rabu (16/3/2022) sekitar pukul 23.30 WIB.
Keributan antarwarga itu dipicu gara-gara pengeras suara mushala.
Kejadian berawal saat seorang warga berinisial R protes karena pengeras suara mushala mengarah ke rumahnya. Saat itu, anaknya berusia tiga tahun sedang sakit.
Baca juga: Warga Bentrok Gara-gara Pengeras Suara Mushala, Sosiolog Sebut Pentingnya Berdialog
Kemudian R meminta tolong agar pengeras suara tidak diarahkan langsung ke rumahnya.
Namun, protes R tidak diterima oleh warga lainnya sehingga terjadi selisih paham dan cekcok.
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, Siti Zunariyah mengatakan, persoalan persepsi pada masyarakat tentang suara toa bisa beragam.
Baca juga: Gara-gara Pengeras Suara Mushala, Warga di Pekanbaru Bentrok
Situasi itu, sambungnya, sebenarnya sudah sering terjadi di banyak wilayah.
"Persoalannya hari ini kita dihadapkan pada situasi yang mesti diubah, karena masyarakat kita tidaklah tunggal, bahkan majemuk. Tidak hanya soal keyakinan, tapi juga kepentingan, dan negara menjamin soal itu," kata Siti melalui pesan WhatApps, kepada Kompas.com Sabtu (19/3/2022) sore.
Agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, kata Siti, pentingnya duduk bersama dan membangun dialog untuk kemudian merumuskan kesepakatan bersama sehingga menjadi kata kunci penting.
Baca juga: Berakhir Damai, Ini Kata Polisi soal Cekcok Warga gara-gara Pengeras Suara Mushala di Pekanbaru
"Kita akan belajar bertindak berdasar kebutuhan dan kepentingan bersama, bukan berdasarkan apa-apa yang dulu pernah nenek moyang kita lakukan," ujarnya.
"Disitulah bagian penting dari demokrasi, dan ini yang harus dibangun pada masyarakat lingkup paling bawah yang syarat dengan beragam situasi yang jadi kesepakatan antar wilayah atau daerah bisa jadi berbeda," sambungnya.
Soal pengeras suara diarahkan ke rumah warga, kata Siti, dalam hal ini pentingnya membangun kembali empati dan tepo seliro pada masyarakat.
Dari sanalah kata Siti sebenarnya proses saling menghargai dan menghormati berawal.
"Yang tidak boleh ketinggalan adalah peran lembaga sosial kelembagaan yang ada, bisa diperluas area jelajahnya pada isu-isu sosial kemasyarakatan tentang bagaimana membangun harmoni antar warga dengan beragam instrumen yang dia miliki," pungkasnya.
Baca juga: Warga yang Cekcok karena Pengeras Suara Mushala Telah Sepakat Berdamai
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.