KOMPAS.com - Indonesia mengenal aturan otonomi daerah yang diterapkan hingga saat ini.
Otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan masyarakat atau kepentingan, termasuk dengan membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri.
Baca juga: JK Dukung Pemindahan Ibu Kota: Memberikan Otonomi Lebih Baik
Perjalanan sistem otonomi daerah tidak terjadi begitu saja, namun sudah berjalan dalam waktu yang sangat lama.
Melansir artikel Menelisik Sejarah Otonomi Daerah pada Media BPP Kemendagri (2007) sejarah otonomi daerah sudah berlangsung sejak era kolonial hingga pendudukan Jepang.
Baca juga: RUU HKPD Siap Dibahas di Rapat Paripurna, Puteri Anetta Minta RUU Ini Jamin Otonomi Daerah
Syaukani dkk (2002) dalam buku Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, menjelaskan bahwa peraturan dasar ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait otonomi daerah adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Staatsblad 1855 No 2) atau Peraturan tentang Administrasi Negara Hindia Belanda (Buku UU 1855 No 2).
Baca juga: Jokowi dan Parpol Koalisi Juga Bahas Otonomi Daerah yang Dinilai Tak Efektif
Aturan itu menyebut bahwa penyelenggaraan kolonial tidak mengenal sistem desentralisasi tetapi sentralisasi. Kemudian pada 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Decentralisatie Wet (Staatsblad 1903 No 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada sebuah “Raad” atau dewan di masing-masing daerah yang kemudian diperkuat dengan Decentralisatie Besluit (keputusan desentralisasi) (S 1905 No 137) dan Locale Raden Ordonantie (S 1905 No 181) yang menjadi dasar Locale Ressort dan Locale Raad.
Sebenarnya sistem yang dibuat merupakan akal-akalan karena pada kenyataannya pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan.
Bahkan hanya dewan di tingkat gemenente (masyarakat) yang dipilih, sementara dewan daerah mendapatkan pengawasan sepenuhnya dari Gouverneur-Generaal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Walau begitu, sistem ini menjadi begitu menonjol hingga diwariskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari masa ke masa.
Dalam waktu hanya 3,5 tahun, Jepang mengenalkan Indonesia pada sistem otonomi daerah dalam skala kecil.
Penguasa militer Jepang di Jawa mengeluarkan UU (Osamu Sirei) No 27 Tahun 1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah dalam beberapa bagian.
Wilayah dibagi dari Syuu (tiga wilayah kekuasaan Jepang) yang kemudian dibagi dalam Ken (Kabupaten), dan Si (Kota).
Jepang diketahui memang tidak mengenal istilah Provinsi, dan sistem Raad (Dewan), sehingga sistem warisan pemerintahan Belanda itu otomatis dihapuskan.
Struktur administrasi yang dibuat Jepang lebih lengkap yaitu Panglima Balatentara Jepang - Pejabat Militer Jepang - Residen - Bupati - Wedana - Asisten Wedana - Lurah/Kepala Desa - Kepala Dusun - RT/RW - Kepala Rumah Tangga.