“Mereka tidak bisa menunjukan batas-batas lahan itu, jadi yang dibilang tanah adat itu mereka tidak bisa menunjukkan dan proses itu sudah lama dan selama ini tidak ada masalah. Hubungan kami dengan masyarakat Marfenfen di sana baik, kami saling membantu, kami bantu ada yang sakit kami bawa ke rumah sakit,” ungkap dia.
Terkait persoalan tersbeut, warga mengaku sengketa lahan antara mereka dan pihak TNI AL bermula pada tahun 1991.
Menurut warga, saat itu TNI AL mendatangi desa itu kemudian membuat patok.
Setelah itu, beberapa waktu kemudian mereka datang dengan Badan Pertanahan Nasional dan mengukur lahan itu, selanjutnya memanipulasi dukungan warga untuk mengakui tanah tersebut milik TNI AL.
Baca juga: Sempat Disegel Warga, Bandara dan Pelabuhan di Kepulauan Aru Kembali Beroperasi
Said menegaskan, pada tahun 1991 itu ada rencana dari TNI AL untuk membuat sertifikat tanah tersebut.
Mereka lalu membahas masalah itu dengan warga setempat.
Ia membantah bahwa pihaknya memanipulasi dukungan masyarakat untuk mengakui status tanah tersebut milik TNI AL.
“Tidak benar itu. Kita malah memberikan lahan seluas 200 hektar untuk masyarakat, kemudian kita memperbaiki gereja, sekolah, lalu dari hasil pertemuan dengan masyarakat itu kita menghargai masyarakat di situ itu untuk 100 keluarga. Jadi satu orang itu dapat sekitar dua hektar,” ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.