Kalau dari Imam Malik dan Imam Hanafi saja, Imam Syafi'ie bisa menemukan manhaj mendirikan mazhab berbeda, apakah pula jika itu hanya semata afiliasi seorang kandidat Ketua Umum PBNU atas organisasi kemasyarakatan tertentu. Itu tak lebih dari ikhtiar memperkaya pengalaman dan wawasan kebangsaan.
Menyoal pilihan masa lalu, terlebih saat itu tidak ada pilihan kecuali itu, adalah kesia-siaan dan mengada-ada. Persis menyoal sikap Imam Ahmad bin Hanbal ketika mendirikan Mazhab Hambali yang berbeda dengan gurunya, Imam Syafi'ie.
Menyoal tahapan dan proses internalisasi nilai-nilai ke-NU-an anak-anak NU oleh kader NU sendiri, adalah anomali. Di luar akhlaqul karimah. Tidak lazim dalam tradisi nahdliyin. Semata Al Jarhu, jauh dari At Ta'dil.
Mempertanyakan ke-NU-an sesama warga NU hanya karena saudaranya berinteraksi dengan pihak lain di luar NU, seperti mempertanyakan ke-NU-an KH Wahab Chasbullah--pendiri dan Rais Aam NU, karena membawa NU ke gerbong yang sama dengan PNI dan PKI, yaitu Nasakom. NU tetap NU meski dia pernah mendayung dalam satu biduk dalam Masyumi.
Cermin itu pula yang pernah digunakan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat duduk sebagai anggota MPR-RI dari Fraksi Golongan Karya.
Sanad itu juga yang dipakai Matori Abdul Djalil untuk memangku jabatan Ketua Umum PKB meski bertahun-tahun sebelumnya ia berkhidmah di Parmusi dan PPP.
Gus Dur tak berkurang ke-NU-annya hanya karena ia pernah berafiliasi dengan Golkar. Saat itu, jelas ia sudah bukan mahasiswa. Ia Ketua Umum PBNU.
Di Golkar ada sejumlah mutiara NU lainnya semisal Slamet Effendi Yusuf, Chalid Mawardi, Mudjib Rohmat dan lain-lain.
Praktik politik bias semacam ini, lama membuat Gus Dur masygul. Ia gusar. Ia menentangnya keras-keras. Baginya, menggunakan diktum primordialisme sempit, tak lebih dari suatu perasaan menyimpang yang dimiliki oleh seseorang yang ambisius.
Biasanya, ia sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai, norma, dan kebiasaan, untuk tujuan tertentu. Memang itu umum terjadi antarorganisasi berbeda, tapi tidak di internal satu organisasi. Apalagi ormas keagamaan seperti NU.
Sejak dua tahun terakahir, isu PMII vs HMI ditiupkan. Dan kembali digaungkan dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU akhir September 2021 lalu.
Jelas, ini politicking. Jamak dilakukan para politisi. Politik kategori. Ini merusak. Bagi NU, semua anasir bangsa adalah kekayaan.
Warga NU bangga dengan adagium PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945. Di mana-mana dan ke mana-mana, warga NU membela asas "berbeda-beda tapi satu jua." Tidak retorika an sich tapi juga dalam amaliyah.
Sebenarnya, menjahit semua fakta ini, tidak banyak yang berubah dari kesimpulan terkait cara berorganisasi nahdliyin. Bahwa terlalu sedikit anak NU yang masuk HMI. Itu hanya mungkin terjadi karena mereka kuliah di perguruan tinggi yang belum ada PMII-nya.
Saat itu, HMI jadi satu-satunya organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) berbasis Islam untuk menempa diri. Asalkan tidak ada kontradiksi ideologis yang terlampau diametral, tak ada yang perlu dipersoalkan.