Salin Artikel

Awalnya, Imam Syafi'ie adalah Maliki: HMI Vs PMII di Muktamar NU

Sebuah keniscayaan

BAGI nahdliyin, bermazhab adalah keniscayaan. Dalam perjalanan menjadi hamba yang "hamba" bagi Tuhannya, manusia mencari jalan termudah, terpendek dan termungkin sesuai syari'ah.

Itulah yang disebut ijtihad. Maka, bermazhab bagi warga NU adalah puncak "ijtihad" mereka untuk menerjemahkan amar Allah SWT dalam praksis sehari-hari. Bermazhab, dengan begitu adalah pilihan logis.

Dengan skema ini, sejumlah pendiri mahzab fiqih, aqidah, pemikiran dan siyasah dalam Islam, membangun postulat keberagamaan.

Termasuk ketika Imam Syafi'ie meletakkan dasar mazhab dan manhaj fiqihnya. Ia meramunya dari sebanyak mungkin alat istidlal.

Untuk keperluan itu, ia melakukan rihlah ilmiyah. Bertemu dan berguru kepada banyak ulama. Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'ie, sudah dikirim ibunya ke Madinah. Berguru kepada ulama besar, Imam Malik.

Dua tahun lebih, ia menjadi penganut dan pembela mazhab yang didirikan gurunya, Imam Malik bin Anas.

Pada periode itu, ia sepenuhnya Malikiyun alias bermazhab Maliki. Murid kebanggaan gurunya. Penerjemah paling fasih soal fiqih Maliki. Hingga akhirnya, ia meneruskan rihlah ke Irak, berguru pada murid-murid Imam Hanafi.

Di pondok Imam Hasan As Syaibani, Imam Syafi'ie memperkaya khasanah keilmuannya dengan menguasai fiqih a la mazhab Imam Hanafi. Di fiqih ini, ia benar-benar di derajat par excellence.

Pergolakan pemikiran dalam mengompilasi pandangan, filosofi, dan alat-alat istidlal, dengan begitu, juga merupakan keniscayaan, sebagaimana dalam menentukan mazhab pilihan.

Imam Syafi'ie meneguhkan mazhabnya sendiri setelah menemukan dan memastikan titik-titik mana dari pandangan para gurunya yang mungkin bisa disambung menjadi simpul-simpul mazhab.

Baginya, berguru kepada banyak ulama adalah absolutelly needed sebelum sampai kepada magnum opus-nya: inilah Mazhab Syafi'ie.

Bercermin kepada Masyayikh

Adakah relevansi sketsa perjalanan keilmuan Imam Syafi'ie ini dengan konteks dinamika elite nahdliyin menjelang muktamar NU ke-34, 23-25 Desember 21021 mendatang di Lampung?

Ada dan sangat kuat.

Di NU, bersanad adalah mutlak. Semutlak mereka bersanad kepada para masyayikh dan muassis jam'iyyah.

Bagi mereka, Imam Syafi'ie adalah cermin besar, tempat mematut diri dalam beragama. Begitu pula cara mereka bersikap atas dawuh para kiai, alim, ulama dan habaib di lingkungan mereka.

Kalau dari Imam Malik dan Imam Hanafi saja, Imam Syafi'ie bisa menemukan manhaj mendirikan mazhab berbeda, apakah pula jika itu hanya semata afiliasi seorang kandidat Ketua Umum PBNU atas organisasi kemasyarakatan tertentu. Itu tak lebih dari ikhtiar memperkaya pengalaman dan wawasan kebangsaan.

Menyoal pilihan masa lalu, terlebih saat itu tidak ada pilihan kecuali itu, adalah kesia-siaan dan mengada-ada. Persis menyoal sikap Imam Ahmad bin Hanbal ketika mendirikan Mazhab Hambali yang berbeda dengan gurunya, Imam Syafi'ie.

Menyoal tahapan dan proses internalisasi nilai-nilai ke-NU-an anak-anak NU oleh kader NU sendiri, adalah anomali. Di luar akhlaqul karimah. Tidak lazim dalam tradisi nahdliyin. Semata Al Jarhu, jauh dari At Ta'dil.

Mempertanyakan ke-NU-an sesama warga NU hanya karena saudaranya berinteraksi dengan pihak lain di luar NU, seperti mempertanyakan ke-NU-an KH Wahab Chasbullah--pendiri dan Rais Aam NU, karena membawa NU ke gerbong yang sama dengan PNI dan PKI, yaitu Nasakom. NU tetap NU meski dia pernah mendayung dalam satu biduk dalam Masyumi.

Cermin itu pula yang pernah digunakan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat duduk sebagai anggota MPR-RI dari Fraksi Golongan Karya.

Sanad itu juga yang dipakai Matori Abdul Djalil untuk memangku jabatan Ketua Umum PKB meski bertahun-tahun sebelumnya ia berkhidmah di Parmusi dan PPP.

Gus Dur tak berkurang ke-NU-annya hanya karena ia pernah berafiliasi dengan Golkar. Saat itu, jelas ia sudah bukan mahasiswa. Ia Ketua Umum PBNU.

Di Golkar ada sejumlah mutiara NU lainnya semisal Slamet Effendi Yusuf, Chalid Mawardi, Mudjib Rohmat dan lain-lain.

Praktik politik bias semacam ini, lama membuat Gus Dur masygul. Ia gusar. Ia menentangnya keras-keras. Baginya, menggunakan diktum primordialisme sempit, tak lebih dari suatu perasaan menyimpang yang dimiliki oleh seseorang yang ambisius.

Biasanya, ia sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai, norma, dan kebiasaan, untuk tujuan tertentu. Memang itu umum terjadi antarorganisasi berbeda, tapi tidak di internal satu organisasi. Apalagi ormas keagamaan seperti NU.

Ada HMI ada negeri Wahabi

Sejak dua tahun terakahir, isu PMII vs HMI ditiupkan. Dan kembali digaungkan dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU akhir September 2021 lalu.

Jelas, ini politicking. Jamak dilakukan para politisi. Politik kategori. Ini merusak. Bagi NU, semua anasir bangsa adalah kekayaan.

Warga NU bangga dengan adagium PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945. Di mana-mana dan ke mana-mana, warga NU membela asas "berbeda-beda tapi satu jua." Tidak retorika an sich tapi juga dalam amaliyah.

Sebenarnya, menjahit semua fakta ini, tidak banyak yang berubah dari kesimpulan terkait cara berorganisasi nahdliyin. Bahwa terlalu sedikit anak NU yang masuk HMI. Itu hanya mungkin terjadi karena mereka kuliah di perguruan tinggi yang belum ada PMII-nya.

Saat itu, HMI jadi satu-satunya organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) berbasis Islam untuk menempa diri. Asalkan tidak ada kontradiksi ideologis yang terlampau diametral, tak ada yang perlu dipersoalkan.

Bahkan, Mahbub Djunaidi, pendiri PMII, adalah salah seorang kader utama di lingkaran pucuk pimpinan nasional HMI.

Persaingan PMII-HMI harus dilihat semata interaksi antaridentitas yang tidak substansial. Tidak lebih. Tidak sampai jadi perang ideologi, apalagi perang akidah. Persaingan itu hanya salah satu mekanisme untuk menempa katangguhan kader.

Saifullah Yusuf adalah contoh mutakhir. Ia anggota HMI pada masa kuliah. Tapi ia adalah cucu pendiri NU, KH Bishri Syansuri, dan Ketua Umum GP Ansor dua periode plus. Tidak seorang pun dalam jajaran PP GP Ansor di bawah kepemimpinannya selain alumni PMII.

Demikian halnya Yahya Cholil Staquf. Di luar fakta bahwa keikutsertaannya dalam HMI hanya sampai batas pinggiran dan singkat saja, ia adalah putera KH M Cholil Bisri, cucu KH Bisri Mustofa, penulis tafsir Al Ibriz, salah satu kitab tafsir monumental yang paling banyak dikaji di kalangan warga NU.

Yahya juga murid langsung KH Ali Maksum, Rais Aam PBNU 1981-1984, yang adalah juga guru langsung dari Gus Dur. Yahya merupakan salah seorang inisiator dan pendiri PKB yang dalam beberapa tahun terakhir dipimpin A Muhaimin Iskandar.

Adalah (alm) KH MA Sahal Mahfudh, Rais Aam 2010, yang membawa Yahya ke dalam PBNU. Ia didudukkan sebagai Katib Syuriyah dengan tugas spesifik dari dari Kiai Sahal: revitalisasi kontak dengan jaringan internasional yang dulu digalang oleh Gus Dur. Hingga kini, Yahya dipercaya jadi Katib Aam Syuriyah.

Sejak 2011, bersama Abdul Mun’im DZ dan Enceng Shobirin Naj (alm), ia mengembangkan pelatihan reguler untuk kader-kader GP Ansor, hingga bertransformasi menjadi pergerakan kepemudaan yang solid dan koheren dengan kapasitas yang terus berkembang.

Isu perseteruan HMI-PMII di dalam NU adalah omong kosong dan hanya mungkin timbul dari rasa kurang pede.

Menyoal latar belakang kader pada masa pendidikannya, potensial berkembang menjadi isu yang tak tentu arahnya, tidak produktif dan negatif.

Jika latar belakang HMI dipersoalkan, bagaimana dengan kader yang belasan tahun dididik dan meraih gelar akademis hingga puncaknya, di lembaga pendidikan Wahabi di pusat Wahabi dunia?

Hak eksklusif?

Penting diingat, bahwa ejak 1972 PMII telah resmi menyatakan memisahkan diri dari NU. Dan ketika pada Muktamar NU ke 33 di Jombang, 2015, diputuskan untuk mengajak PMII pulang ke induk organisasinya. Dengan tegas PMII menolak kembali ke NU hingga kini.

"Diajak ikut NU enggak mau kok ngotot mengklaim hak eksklusif atas NU," celetuk seorang rekan wartawan saat liputan Munas dan Konbes yang baru lalu. 

 

https://regional.kompas.com/read/2021/10/06/095101178/awalnya-imam-syafiie-adalah-maliki-hmi-vs-pmii-di-muktamar-nu

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke