WAINGAPU, KOMPAS.com - Suara gong dan tambur bersahut-sahutan di sebuah rumah panggung di Kampung Watumbaka, Kelurahan Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bunyi alat musik tradisional yang dimainkan beberapa warga itu terdengar sangat kencang dan cepat dalam nada yang begitu khas.
Rupanya, alunan musik itu adalah bagian upacara penguburan jenazah perempuan penghayat kepercayaan Marapu, Rambu Kaita Lepir (51), warga kampung Watumbaka.
Baca juga: Gubernur Viktor: NTT Punya Sumber Energi Baru Terbarukan yang Sangat Melimpah
Sementara itu di depan rumah terlihat seekor kuda disiapkan.
Kuda berwarna hitam itu akan digunakan sebagai penunjuk jalan bagi jenazah saat menuju ke tempat penguburan yang telah disediakan.
Begitu tiba di dekat liang lahat yang berjarak 10 meter dari rumah duka, penutup peti pun dibuka. Jenazah Rambu diangkat dari dalam peti.
Dengan dibungkus kain dan sarung motif khas Sumba Timur, jenazah Rambu nampak diikatkan dengan kain khusus yang disebut tiara kaha.
Anak sulung Rambu, Indriani Uru Emu (31) mengatakan, ada sebanyak 47 kain yang membungkus jenazah ibunya tersebut.
Adapun, saat ini Indriani dan saudara-saudarinya sudah menganut agama Kristen Protestan.
Baca juga: Kapal Sirimau Dialihkan untuk Tempat Isolasi, Pedagang NTT Mengeluh Tak Bisa Pasarkan Bawang
Menurut Indriani, sebanyak 47 kain sarung pembungkus jenazah merupakan kain yang dibawakan keluarga saat melayat pada tiga hari pertama setelah Rambu meninggal.
"Batas maksimalnya 50 kain untuk membungkus jenazah penghayat Marapu. Sebab, dalam istilah (penghayat kepercayaan) Marapu, orang yang sudah meninggal tidak boleh diberatkan. Tidak boleh dikasih banyak kain. Nanti sesaknya di peti atau di kuburan," kata Indriani kepada Kompas.com, di Kampung Watumbaka, Kamis (9/9/2021).
Ia mengisahkan, setelah dibungkus dengan sejumlah kain tersebut, jenazah Rambu dimasukkan ke dalam peti yang dibuat dengan ukuran tinggi.
Jenazah yang sudah diatur dengan posisi duduk bertinggung itu kemudian dibaringkan di dalam peti selama masa semayam.
Bertinggung merupakan posisi duduk dengan cara melipat kedua lutut dan menjadikan telapak kaki sebagai tumpuan serupa berjongkok, sehingga posisi pantat hampir menyentuh tanah.
Baca juga: Kisah Ibu Rumah Tangga di Kupang, Harus Memikul Utang Almarhum Suaminya Rp 224 Juta di Bank
Disemayamkan Sebulan
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.