Indriani menuturkan, Rambu meninggal pada 7 Agustus lalu dan baru dikuburkan pada 9 September 2021 di Kampung Watumbaka.
Selama disemayamkan, bunyi-bunyian gong dan tambur itu akan terus mengiringi.
"Pukul gong. Kalau malam itu bebas, tergantung orang senang mau bunyikan gong. Batasnya bisa pukul 00.00 Wita, bisa juga jam 01.00 Wita, katanya.
Gong akan kembali dibunyikan pukul 05.00 Wita usai jenazah Rambu 'diberi' makan yang dimasak oleh keluarga.
"Kalau sore itu dibunyikan pukul 17.00 Wita. Sedangkan siang tidak boleh (bunyikan gong dan tambur)," ungkap Indriani.
Baca juga: Bidik 6.000 WNI yang Berobat ke Luar Negeri, Erick Thorir akan Kembangkan Wisata Kesehatan di Bali
Dikubur Posisi Duduk
Jenazah Rambu dikuburkan dengan posisi duduk bertinggung di dalam lubang berbentuk persegi yang memiliki kedalaman lebih dari satu meter.
Ia dikuburkan tanpa peti dalam lubang yang sama dengan suaminya yang pertama.
"Kalau untuk penganut Marapu, suami dan istri harus digabungkan. Tidak boleh dipisahkan," kata Indriani.
"Jenazah bapak di sisi timur, mama di sisi barat. Mereka berdampingan. Matahari terbit kan di timur. Jadi, kodratnya laki-laki harus selalu yang duluan dalam segala hal," imbuhnya.
Adapun, jenazah suami Rambu yang telah dikuburkan pada puluhan tahun silam itu terlihat masih dalam posisi duduk berbalut kain dan sarung dengan motif khas Sumba Timur.
Sementara itu, peti jenazah milik rambu dikuburkan pada lubang lain yang digali setelah jenazahnya dikuburkan.
Menurut Indriani, peti jenazah dari para penghayat kepercayaan Marapu biasanya disimpan di bawah pohon rindang di atas bukit.
Namun karena alasan tertentu, peti jenazah dan barang lain milik Rambu dikuburkan di satu tempat di dekat kuburannya.
"Pokoknya segala hal yang berkaitan dengan itu harus terlindungi dari cahaya matahari," ungkap Indriani.