LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Tiga rumah ibadah berdiri berdekatan di Jalan Sukaramai, Desa Pusong Lama, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh.
Bangunan itu terdiri dari dua gereja yaitu Gereja Methodist Indonesia), HKBP, dan sebuah vihara bernama Vihara Budhha Tirta.
Tiga bangunan ini berdampingan langsung dengan permukiman penduduk di Pusong Lama, salah satu kawasan terpadat di pusat Kota Lhokseumawe.
Baca juga: Kesehatan Hartijo Menurun Usai Disuntik 2 Dosis Vaksin Sekaligus hingga Akhirnya Meninggal
Di depan, belakang, kiri, dan kanan bangunan rumah ibadah, seluruhnya rumah dan toko penduduk lokal milik muslim.
“Kami mulai mendirikan rumah ibadah vihara ini sejak 1976 lalu. Sampai hari ini aman saja,” kata pengurus Vihara Budhha Tirta, Edi, kepada Kompas.com di tokonya di Jalan Perdagangan, Kota Lhokseumawe, Jumat (30/7/2021).
Bahkan, saat konflik Aceh, tak seorang pun menyentuh rumah ibadah itu.
Sejarah mencatat, konflik Aceh terjadi tahun 1989 hingga 1998 dengan pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Lalu tahun 1998 hingga perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2006 di Helsinki, Finlandia.
Meski Aceh dirundung perang, tentara di mana-mana, suara senjata kerap terdengar, tapi rumah ibadah tak pernah bermasalah. Bangunan ini berdiri kokoh bersama rumah masyarakat muslim lainnya hingga kini.
“Kami sangat nyaman hidup, menetap, berkembang, dan membangun daerah ini bersama-sama masyarakat Aceh. Bahkan, saat konflik pun kami merasa nyaman,” kata Edi.
Hingga hari ini, Vihara Budhha Tirta memiliki 169 jemaat. Bahkan, kata Edi, saat peribadatan, kerap kali pemuda lokal ikut membantu.
“Masyarakat itu udah seperti saudara kandung kita. Mereka bantu kita di parkir, berjaga di depan bangunan. Itu sudah sejak lama,” katanya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Lhokseumawe, 718 jiwa penduduk Lhokseumawe beragama Buddha, Hindu 10 jiwa, dan Katolik 185 jiwa, dan 203.783 jiwa penduduk beragama Islam.
Hamdan, salah satu tokoh Katolik di Lhokseumawe mengatakan, kerukunan umat beragama tak pernah tercoreng di kota ini.
“Saat pecah 1998, semua daerah mengalami luka masing-masing. Di Lhokseumawe itu tidak pernah terjadi, tidak ada gangguan rumah ibadah, tak ada penjarahan,” ujar dia.
Ucapan itu diamini Kepala Desa Pusong Lama, Kaharuddin. Menurutnya, hubungan baik antar masyarakat beragama telah terjalin sejak puluhan tahun lalu.