“Misalnya, kan ada nyanyian di gereja atau vihara, itu juga tidak mengganggu. Rukun saja sejak puluhan tahun lalu,” kata Kaharuddin.
Bhineka (berbeda) bukan berarti harus bermusuhan.
“Islam mengajarkan kebaikan untuk semua umat. Bukan hanya umat Islam sendiri,” kata Kaharuddin.
Ajaran ulama tempo dulu
Pimpinan Pesantren Qari dan Hafiz (QAHA) Kota Lhokseumawe, Tgk Jamal Al Hakmar mengatakan, masyarakat Aceh dididik sejak era abad ke-13 oleh ulama untuk bersikap toleran.
“Itu ada di Al Quran, Alhujurat Ayat 13. Disebutkan, 'Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti',” ujar Tgk Jamal.
Ajaran itu sudah menyatu dalam nadi masyarakat Aceh sejak puluhan tahun lalu. Turun temurun dari ulama lampau hingga saat ini dan menyebar ke masyarakat Aceh.
“Ayat itu menjelaskan untuk semua, bukan untuk umat Islam saja. Maka, umat Islam wajib melindungi agama lain di daerahnya, walau Aceh penerapan Syariat Islam. Ini juga bagian dari penerapan syariat itu,” ujar dia.
Kerajaan Samudera Pasai
Ucapan Tgk Jamal sejalan dengan catatan peneliti Samudera Pasai Heritage, Tgk Taqiyuddin Muhammad.
Menurutnya, raja-raja masa lalu di Kerajaan Samudera Pasai jelas mendukung kebhinekaan.
Sikap raja bisa dilihat dari ukiran kaligrafi di nisan yang banyak ditemukan di Desa Kuta Kareung, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, pusat Kerajaan Samudera Pasai masa lalu.
“Lihat saja di nisan Makam Sultan Zainal Abidin (cicit dari Maharaja Malikussaleh), raja keempat Samudera Pasai. Sang raja menuruti sifat dasar kakek buyutnya, Sultan Malikussaleh, raja pertama Kerajaan Samudera Pasai. Itu bisa dilihat dari ukiran kaligrafi surat Al Baqarah Ayat 256 yang artinya kurang lebih berbunyi tidak ada paksaan dalam agama (Islam)," kata dia.
“Penulisan kaligrafi itu tidak sembarangan. Bukan pencitraan seperti sekarang ini. Itu menandakan sikap hidup dan sikap kerajaan masa Sultan Zainal Abidin,” kata Taqiyuddin menambahkan.
Taqiyuddin menjelaskan, Kerajaan Samudera Pasai sebagai salah satu yang terbesar di Indonesia, tidak memaksa agama apa pun yang ada di wilayah hukumnya.