Banyak umat Buddha, Hindu, dan kepercayaan lokal lainnya tetap nyaman di bawah kepemimpinan sultan.
“Bagi raja masa lalu, Islam itu pandangan dan sikap hidup. Islam rahmat untuk semua umat. Ini lalu menjadi kurikulum pendidikan dan menyebar hingga kini,” katanya.
Teks lain yang senada dengan toleransi dan sikap kebhinekaan juga banyak ditemukan di sejumlah nisan kerajaan.
Misalnya, pemakaman Islam peninggalan zaman Kerajaan Pasai di Desa Meucat, Kecamatan Samudera, ditemukan batu nisan bergaya kebudayaan Dongson (dari Indochina). Juga ada batu nisan bergaya Dinasti Shin dari China.
“Itu prasasti kami yakini masuk sebelum Islam. Maknanya, Islam masuk dengan cara damai. Lalu berkembang dan menyatu dengan budaya yang sudah ada sebelumnya di Aceh, bahkan era pra-Islam,” katanya.
Ajaran era masa lalu itu terus mengakar ke aliran darah masyarakat Aceh era modern.
Itu mengapa tak heran rumah ibadah agama lain berdiri tegak dan penganutnya nyaman berbaur bersama masyarakat di ujung Pulau Sumetara itu.
“Kita berbeda secara agama, namun kita sama secara negara. Sikap bhineka Aceh patut kita wariskan ke anak cucu hingga kiamat dunia,” ujar Edi, tokoh Buddha Aceh.
Sementara itu, Kapolres Lhokseumawe AKBP Eko Hartanto mengatakan, tak pernah ada masalah antar umat beragama di Lhokseumawe.
“Saya salut dengan kerukunan umat beragama di sini. Kita lakukan sterilisasi natal di gereja itu sesuai prosedur. Namun, memang tak pernah ada gesekan, aman saja,” ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.