Kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur itu diduga dilakukan ayah kandung korban berinisial MA dan paman korban DP. Kedua terdakwa diadili dalam berkas terpisah.
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menuntut MA dan DP dengan hukuman 200 bulan penjara. Namun hakim menjatuhkan vonis berbeda untuk keduanya.
Majelis hakim Mahkamah Syariah Jantho memvonis bebas MA dan memerintahkan dia dikeluarkan dari penjara.
Baca juga: Anak Diperkosa Ayah Tiri, Ibu Kandung Justru Memarahi Korban
Hakim berpendapat, MA tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah 'pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram' atau 'pelecehan seksual terhadap anak' sebagaimana dalam dakwaan pertama ataupun kedua.
"Membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum; Memulihkan hak terdakwa [rehabilitasi] dalam kemampuan, kedudukan dan martabatnya," sebut hakim, 30 Maret 2021.
Pada hari yang sama, majelis hakim membacakan vonis terhadap DP. Hakim memvonis DP sesuai dengan tuntutan JPU, yaitu penjara selama 200 bulan dikurangi masa penahanan.
Baca juga: Cerita Suami Bunuh Pemerkosa Istrinya, Peluk Sang Istri dan Memintanya Bersabar
Hasilnya? "Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Memerintahkan agar terdakwa untuk dikeluarkan dari tahanan seketika itu juga," putus hakim, 20 Mei 2021.
Hakim Mahkamah Syariah Aceh menyatakan DP tidak terbukti bersalah memperkosa orang yang memiliki hubungan mahram dengannya dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Suraiya Kamaruzzaman, presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) yang gencar mengadvokasi hak perempuan dan anak, menyebut kasus ini membuktikan pasal pemerkosaan dan pelecehan seksual yang diatur dalam qanun Aceh harus segera direvisi, agar korban mendapatkan keadilan hukum dan pendampingan sampai kondisi psikologisnya membaik.
"Cukup sudah, jangan ada lagi kasus seperti ini. Kemudian kalau alasan cambuk sebagai satu argumen membuat efek jera, tidak ada.
Dalam saat bersamaan ini di Calang dan di Nagan Raya juga ada korban pemerkosaan yang dilakukan oleh paman dan ayahnya.
"Itu bukan kasus satu-satunya dan bukan terbaru. Pandemi Covid-19 tidak menghentikan kasus ini, bahkan terus terjadi," papar Suraiya.
Baca juga: Dokter di NTT Nyaris Diperkosa OTK Saat Tertidur di Rumah Dinas, Polisi Buru Pelaku
Sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, Provinsi Aceh memiliki kebebasan tersendiri dalam mengatur peraturan daerah, salah satunya dengan lahir qanun jinayat (hukum pidana) No. 6 tahun 2014 yang mengatur 10 pidana utama, di antaranya khamar (miras), khalwat (pasangan bukan muhrim), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain sebagainya.
Pelanggar ketentuan hukuman ini akan dicambuk dan membayar denda sesuai dengan ketentuan.
Dalam artikel berjudul Kewenangan Mahkamah Syar'iyah di Aceh Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia yang dimuat Jurnal Ilmu Hukum pada 2013, Profesor dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, menjelaskan peradilan syari'at Islam di Aceh (Mahkamah Syar'iyah) merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang peradilan agama.
Baca juga: Kronologi Bocah SD Diperkosa 2 Pemuda, dari Chat Facebook hingga Janjian Jalan-jalan
Mahkamah Syariah juga merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang menyangkut wewenang peradilan umum.
Akan tetapi, Kasubsi Penuntutan Pidum Kejari Aceh Besar, Wira Fadillah, mengatakan pihaknya harus menuntut pelaku yang melibatkan anak sebagai korban dengan hukuman penjara berdasarkan dengan juknis dan surat edaran jaksa agung muda tindak pidana umum, meski dalam qanun Aceh telah mengatur hukuman cambuk dan denda membayar emas.
"Jika korbannya anak, kami tidak dibolehkan untuk menuntut pelaku pemerkosaan dengan pidana cambuk, kami harus menuntut dengan pidana penjara," kata Wira.
Baca juga: Minta Saudara Merekam Saat Dirinya Diperkosa, Terbongkar Ayah Kandung Setubuhi Anaknya 4 Kali
Sejak akhir Mei lalu, JPU Kejari Aceh Besar, sudah mempersiapkan berkas kasasi untuk kasus Lala.
Mereka menuntut terduga pelaku dengan hukuman terberat, yaitu kurungan penjara selama 200 bulan.
Menanggapi desakan untuk revisi qanun jinayah, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Alidar mengklaim tengah megkajinya.
Pihaknya saat ini tengah berkoordinasi dengan para pakar hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Arraniry untuk mengkaji persoalan revisi qanun jinayah (cambuk) dan qanun acara jinayah terkait pelecehan seksual dan pemerkosaan yang melibatkan anak, sebut dia.