Di lahan sawah seluas 700 hektare yang mencakup tiga desa di Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, sampai tiga tahun lalu terhampar tanaman kedelai sejauh mata memandang. Tetapi sekarang, sebagian besarnya adalah tanaman padi.
Kabupaten Grobogan adalah salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia. Luas lahan yang ditanami kedelai di wilayah itu berkurang dari sekitar 26.000 Ha pada tahun 2017 hingga sekitar 7000 Ha pada tahun 2019, menurut Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.
Di Kecamatan Pulokulon saja, luas lahan yang ditanami kedelai telah menyusut dari 5.000-6.000 hektare menjadi di bawah 1.000 hektare. Kedelai kini ditanam dalam petak-petak kecil, umumnya bukan untuk bahan pangan melainkan keperluan pembenihan atau riset.
Baca juga: 9 Fakta Menarik Soal Tempe, Makanan Kesukaan Soekarno
Salah satu pemilik lahan petak tersebut adalah Abdul Karim, pria yang mengaku sebagai "petani tulen dari kecil".
Ia mengelola lahan seluas tiga perempat bau atau sekitar setengah hektare, yang sejak orang tuanya masih hidup hampir semuanya ditanami kedelai.
Sekarang, ia menyewakan satu wolon atau sekitar 825 meter persegi kepada badan penelitian untuk uji varietas kedelai. Sisanya, ia tanami dengan padi.
Abdul Karim berkata kepada BBC bahwa alasannya beralih adalah harga kedelai yang sangat murah di pasaran. Ketika panen raya, katanya, kedelai dibeli tengkulak dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram.
Baca juga: 6 Manfaat Tempe untuk Kesehatan yang Sayang Dilewatkan
Ia menjelaskan bahwa harga kedelai lokal selalu mengikuti harga kedelai impor. Ketika harga kedelai impor tinggi, harga kedelai lokal ikut tinggi.
Saat ini, harga kedelai di Indonesia mengikuti permintaan pasar. Hal ini berbeda dengan padi, yang harganya diatur melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Abdul Karim mengatakan, jika para petani mendapatkan kepastian harga kedelai, minimal Rp 8.000 per kilogram, minat mereka untuk menanam kedelai akan bangkit kembali.
Baca juga: Resep Tempe Goreng Kremes, Lauk Renyah untuk Makan Siang
"Pokok kami petani adalah harga kedelai itu diperbaiki, dalam artian pemerintah harus bisa memberi HPP kepastian harga kedelai. Minimal harga kedelai itu Rp 8.000 ke atas, Insya Allah petani sudah ada satu kenikmatan peningkatan," ujarnya.
Selain harga, perubahan iklim juga memengaruhi produksi kedelai di Kabupaten Grobogan, kata Ali Mohtar (56) petani dan penangkar benih kedelai di Kecamatan Pulokulon.
Ia menjelaskan bahwa musim hujan, waktu untuk mulai menanam kedelai, semakin mundur dari tahun ke tahun.
Baca juga: Sandiaga Uno Berambisi Jadikan Tempe sebagai Warisan Budaya Dunia
"Waktu saya masih agak muda, September itu sudah bisa tanam kedelai, namun makin tahun-makin tahun, Oktober sampai November baru turun hujan atau baru tanam," ujarnya.
Itu menyebabkan masa panen jatuh di bulan Januari sampai Februari, puncak musim penghujan, yang memengaruhi penanganan pascapanen kedelai. Menurut Ali, kurangnya panas menurunkan kualitas kedelai.
"Akhirnya produksinya bagus tetapi [ketika] penanganan pascapanen, karena kurangnya panas, hingga akhirnya kualitas agak jelek, bahkan ada yang jelek," kata Ali.
Kualitas itu memengaruhi harga sehingga harga kedelai lokal selalu di bawah kedelai impor, tambahnya.
Baca juga: Harga Kedelai Dunia Turun, Kemendag Berharap Produsen Tempe Makin Bergairah
Total ada 105 varietas unggul dengan beragam sifat seperti biji besar, biji kecil, toleran terhadap kekeringan, dan toleran terhadap jenuh air.
"Kami sudah sering melakukan pengembangan, semacam diseminasi. Jadi sudah banyak varietas-varietas kita yang diserap oleh petani seperti Anjasmoro, Dering, Dega, Detab, dan banyak lagi," kata Purwantoro, peneliti kedelai di Balai Penelitian Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang.
Baca juga: Sejarah Tempe, Superfood dari Indonesia
Bagaimanapun, menurut Abdul Karim, benih bukanlah masalah utama bagi para petani kedelai.
Dia mengatakan, meskipun para petani di desanya bersyukur dengan bantuan benih dari Dinas Pertanian setempat, tanpa insentif yang cukup para petani tidak akan menanam kedelai.
"Maka dari itu kami selalu usul dengan orang-orang dari Dinas [Pertanian] enggak usah dibantu benihnya, tapi kami minta dibantu harga kedelainya.
"Dengan adanya harga meningkat, otomatis tanpa bantuan benih petani pun akan berduyun-duyun beli benih. Walaupun harganya mahal."
Baca juga: Kabar Gembira, Tempe Diajukan Jadi Warisan Budaya UNESCO