Dirjen Perdagangan Dalam Negeri di Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menjelaskan bahwa alasan pemerintah tidak mengatur harga kedelai adalah karena produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan nasional.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai dalam negeri baru menutupi sekitar 30% dari kebutuhan nasional sebesar 2,2 juta ton.
Menurut Oke Nurwan, itu karena para petani di Indonesia "tidak fokus" menanam kedelai, menjadikannya tanaman sela setelah padi untuk memperbaiki unsur hara di dalam tanah.
Baca juga: 4 Kuliner Yogyakarta yang Hampir Punah, Kethak Blondo hingga Besengek Tempe Benguk
"Sehingga saat ini, kami sangat mendukung bila ini bisa dipasok nasional. Tetapi kalau pola tanamnya masih sedikit-sedikit, dan masih tanaman sela, saya kira butuh waktu yang lama untuk menggantikan impor," kata Oke kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa jika harga kedelai diatur, itu akan menyusahkan pengrajin tahu dan tempe yang membutuhkan bahan baku murah. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan tahu dan tempe, kata Oke, begitu besar.
Ia mencontohkan bahwa saat ini harga kedelai dunia sedang naik karena permintaan besar dari China.
Baca juga: Siapa Sangka, Awalnya Tugas Kuliah, Usaha Tempe Benny Kini Beromzet Rp 100 Juta Sebulan
Harga tahu dan tempe sekarang sudah bisa menembus Rp 17.000 per kilogram karena harga kedelai menembus US$15 per gantang, kata Oke.
"Saya paham petani masih punya alternatif untuk menanam yang lain tetapi bagaimana dengan pengrajin tahu-tempe, begitu harga naik?
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Pedagang Tempe Tahu di Semarang Banyak Dikomplain Pembeli
"Jadi itu alasannya mengapa sampai saat ini kedelai masih diatur bebas. Karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan dari masyarakat Indonesia yang masih senang tahu-tempe," kata dia.
Alasan itu diamini para pengrajin tempe di Kampung Sanan, Malang.
Dikenal sebagai sentra industri tempe dan keripik tempe, Kampung Sanan adalah rumah bagi lebih dari 600 pengrajin tempe yang biasanya membutuhkan bahan baku kedelai hampir 40 ton per hari.
Para pengrajin tempe di Kampung Sanan masih bergantung pada kedelai impor dari Amerika Serikat.
Baca juga: Singgung Soal Tahu-Tempe, Jokowi Minta Perbaikan Produksi Kedelai Lokal
"Adapun itu kualitasnya kurang bagus, ada yang bagus kualitasnya sama dengan impor tapi harganya juga mahal," ia berkata kepada BBC.
Meski begitu ia mengatakan bahwa jika ada kedelai lokal yang tersedia dan harganya terjangkau, para pengusaha di Kampung Sanan akan beralih.
"Kalau memang barangnya ada, kualitasnya sama, barangnya sama, mungkin kita cenderung ke lokal. Karena kalau kedelai lokal, selain tempe ini makanan asli Indonesia, rasanya juga lebih enak," kata Ifan.
Baca juga: Imbas Harga Kedelai Naik, Perajin Tahu Tempe Tasikmalaya Kurangi Ukuran
Jawaban serupa dilontarkan Iis, pengrajin tempe dan keripik tempe "Amanah" di Kampung Sanan.
Ia mengatakan, kedelai lokal lebih sulit diproses menjadi keripik tempe, dan dapat menghasilkan produk yang rasanya "agak kecut".
Meski begitu, ia tidak akan ragu beralih jika kedelai lokal tersedia.
"Kalau Indonesia punya kedelai lokal, kenapa enggak pakai produknya Indonesia sendiri. Dan kita akan belajar, itu merupakan tantangan orang Indonesia sendiri termasuk pengrajin tempe dan keripik tempe," ungkapnya.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Ukuran Tahu dan Tempe Diperkecil