Fakta bahwa tempe masih tergantung pada kedelai impor adalah sebuah "ironi" mengingat tradisi dan sejarah tempe di Indonesia berkaitan erat dengan produksi kedelai di dalam negeri.
Hal tersebut dijelaskan sejarawan kuliner Fadly Rahman dan penulis buku Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942.
Fadly mengatakan tempe disebut dalam Serat Centhini, yang ditulis dalam abad ke-17 Masehi. Namun berdasarkan bukti tertulis, masyarakat Jawa kuno sudah mengenal teknik fermentasi di masa abad 8-10 Masehi.
Baca juga: Sandiaga Pernah Kritik Tempe Setipis Kartu ATM, Bagaimana Sikap Gerindra Sekarang?
Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Profesor Mary Astuti, teknik membuat "tempe" mungkin berasal dari makanan di masa Jawa kuno bernama tumpi, yang terbuat dari sagu dicampur kedelai hitam.
"Itu sudah ada jauh sebelum datangnya kedelai dari Tiongkok yang berwarna kuning," kata Fadly.
Ia menjelaskan, sejak abad ke-10 Masehi kedelai dari Tiongkok kemungkinan sudah dibudidayakan di Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, sebagaimana tertulis dalam prasasti Watukura di Jawa Timur yang mengatakan ada makanan bernama tauhu atau tahu yang kita kenal sekarang.
Baca juga: Naiknya Harga Kedelai dan Saling Sindir Jokowi-Sandiaga soal Tempe Setipis Kartu ATM...
Fadly mengatakan, produksi kedelai saat itu hampir setara dengan beras.
Pada abad ke-17, seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja untuk VOC - organisasi dagang di zaman kolonial Belanda - Rumphius, mengatakan bahwa orang Jawa mengonsumsi sejenis makanan yang difermentasi dari kacang kedelai untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.
Kemungkinan, makanan yang dimaksud itu adalah tempe.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Perajin Tak Bisa Lagi Kurangi Ukuran Tempe hingga Terpaksa Kurangi Bonus Pegawai
"Orang-orang Jawa, walaupun saat itu belum mengenal pengetahuan gizi seperti sekarang, boleh dikatakan mereka sangat paham kedelai ini memiliki kandungan protein yang setara dengan protein hewani," ujarnya.
Literatur-literatur tersebut menarik perhatian orang-orang Belanda - khususnya para ahli pangan, ahli gizi, dan ahli botani - yang melihat tempe sebagai makanan rakyat jelata.
Awalnya mereka menganggap rendah tempe, namun seiring dengan temuan-temuan di bidang gizi, nilai tempe naik di mata mereka pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 sebagai makanan penyelamat di masa sulit.
Baca juga: Kedelai Mahal, Produsen Naikkan Harga dan Kurangi Panjang Tempe
"Karena mereka [rakyat Jawa] bekerja di perkebunan-perkebunan milik orang Belanda dan tidak sempat mengurus ternaknya, lahan pertaniannya, sehingga banyak ternak yang mati dan lahan pertanian gagal panen, dan yang paling mereka andalkan itu adalah kedelai dan produk-produk olahannya - di Jawa Barat ada oncom, di Jawa Tengah dan sekitarnya ada tempe.
"Dan ternyata dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli gizi Belanda, mereka melihat bahwa yang membuat orang-orang Jawa bisa bertahan hidup sekalipun mereka mengalami krisis pangan, karena mereka bisa menggantikan kebutuhan protein hewani mereka dengan tempe," kata Fadly.
Baca juga: Polemik Harga Tahu Tempe Melonjak, Berawal dari Keluhan Produsen soal Mahalnya Kedelai
Salah satu puncak kejayaan tempe adalah ketika krisis ekonomi global pada tahun 1930-an, yang dampaknya juga dirasakan di Indonesia.
Orang-orang Belanda sudah tidak bisa lagi hidup bermewah-mewahan dengan makan daging - dan produk-produk hewani seperti mentega dan keju itu sangat langka dan sangat mahal.
Para ahli di masa itu menemukan dalam uji laboratorium mereka, kata Fadly, bahwa tempe memiliki kandungan gizi yang luar biasa - bahkan pada tahun 1930-an, ia sudah mendapatkan reputasi sebagai 'superfood'.
Hasil penelitian itu bahkan dipresentasikan di Paris dan Belanda, sampai dilakukan eksperimen di laboratorium-laboratorium di Eropa yang mengganti tepung gandum dengan tepung kacang kedelai.
Baca juga: Tetap Produksi meski Harga Kedelai Mahal, Begini Cara Perajin Tempe Agar Tak Merugi
Dan hasil uji laboratorium di Eropa inilah yang diterapkan di negeri-negeri jajahan, termasuk Indonesia, demikian Fadly menjelaskan.
"Sehingga di buku-buku panduan masak di tahun 1930-an itu trennya bukan lagi daging tetapi mengarahkan para pembacanya supaya melakukan substitusi terhadap kacang kedelai, dan salah satu produknya itu adalah tempe," ujarnya.
Namun pamor tempe turun setelah Indonesia merdeka, dan ia kembali dianggap sebagai makanan kelas dua, salah satunya - ini juga ironis - karena pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Pedagang Tempe Tahu di Semarang Banyak Dikomplain Pembeli
Dalam pidato kemerdekaan pada 17 Agustus 1963, Sukarno menyerukan agar bangsa Indonesia tidak menjadi "bangsa tempe". Maksud sang pendiri bangsa ialah menyemangati bangsa Indonesia supaya tidak lembek dan tidak meminta-minta bantuan dari negara lain.
Namun asosiasi tempe dengan "makanan rendahan" melekat di hati masyarakat Indonesia.
"Bung Karno mungkin tidak menyadari saat itu dia terjebak dalam paradigma lama dari kolonialisme yang memandang awalnya tempe sebagai makanan rendahan," kata Fadly.
Baca juga: Usai Mogok 3 Hari, Pedagang Tempe di Pasar Induk Kramatjati Mulai Berjualan Lagi