Salin Artikel

Tempe, Makanan Sejuta Umat yang Bertahan di Tengah Gempuran Kedelai Impor

Apapun itu, tempe merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner masyarakat Indonesia.

Namun meskipun tempe diakui sebagai makanan asli Indonesia, sebagian besar kedelai yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri didapatkan dari impor, terutama Amerika Serikat.

Akibatnya - karena tidak bisa bersaing dengan produk impor- banyak petani kedelai di Indonesia beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Menurut data Kementerian Pertanian, saat ini sekitar 70% kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor.

Seorang sejarawan kuliner, Fadly Rahman, mengatakan kondisi ini merupakan "ironi" karena tradisi dan sejarah tempe sangat terkait dengan produksi kedelai dalam negeri - yang pernah sama jumlahnya dengan produksi beras.

Fadly - penulis buku Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942 - mengatakan panganan asli Indonesia ini menjadi penyelamat rakyat Jawa pada masa kolonial Belanda dan telah dibuktikan di laboratorium Eropa lebih dari 90 tahun lalu, sebagai makanan super.

Memasok produksi tempe dengan kedelai dalam negeri, kata Fadly, merupakan langkah yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia untuk "secara paripurna" mempertahankan tempe sebagai identitas kulinernya.

Kabupaten Grobogan adalah salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia. Luas lahan yang ditanami kedelai di wilayah itu berkurang dari sekitar 26.000 Ha pada tahun 2017 hingga sekitar 7000 Ha pada tahun 2019, menurut Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.

Di Kecamatan Pulokulon saja, luas lahan yang ditanami kedelai telah menyusut dari 5.000-6.000 hektare menjadi di bawah 1.000 hektare. Kedelai kini ditanam dalam petak-petak kecil, umumnya bukan untuk bahan pangan melainkan keperluan pembenihan atau riset.

Salah satu pemilik lahan petak tersebut adalah Abdul Karim, pria yang mengaku sebagai "petani tulen dari kecil".

Ia mengelola lahan seluas tiga perempat bau atau sekitar setengah hektare, yang sejak orang tuanya masih hidup hampir semuanya ditanami kedelai.

Sekarang, ia menyewakan satu wolon atau sekitar 825 meter persegi kepada badan penelitian untuk uji varietas kedelai. Sisanya, ia tanami dengan padi.

Abdul Karim berkata kepada BBC bahwa alasannya beralih adalah harga kedelai yang sangat murah di pasaran. Ketika panen raya, katanya, kedelai dibeli tengkulak dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram.

Ia menjelaskan bahwa harga kedelai lokal selalu mengikuti harga kedelai impor. Ketika harga kedelai impor tinggi, harga kedelai lokal ikut tinggi.

Saat ini, harga kedelai di Indonesia mengikuti permintaan pasar. Hal ini berbeda dengan padi, yang harganya diatur melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Abdul Karim mengatakan, jika para petani mendapatkan kepastian harga kedelai, minimal Rp 8.000 per kilogram, minat mereka untuk menanam kedelai akan bangkit kembali.

"Pokok kami petani adalah harga kedelai itu diperbaiki, dalam artian pemerintah harus bisa memberi HPP kepastian harga kedelai. Minimal harga kedelai itu Rp 8.000 ke atas, Insya Allah petani sudah ada satu kenikmatan peningkatan," ujarnya.

Selain harga, perubahan iklim juga memengaruhi produksi kedelai di Kabupaten Grobogan, kata Ali Mohtar (56) petani dan penangkar benih kedelai di Kecamatan Pulokulon.

Ia menjelaskan bahwa musim hujan, waktu untuk mulai menanam kedelai, semakin mundur dari tahun ke tahun.

"Waktu saya masih agak muda, September itu sudah bisa tanam kedelai, namun makin tahun-makin tahun, Oktober sampai November baru turun hujan atau baru tanam," ujarnya.

Itu menyebabkan masa panen jatuh di bulan Januari sampai Februari, puncak musim penghujan, yang memengaruhi penanganan pascapanen kedelai. Menurut Ali, kurangnya panas menurunkan kualitas kedelai.

"Akhirnya produksinya bagus tetapi [ketika] penanganan pascapanen, karena kurangnya panas, hingga akhirnya kualitas agak jelek, bahkan ada yang jelek," kata Ali.

Kualitas itu memengaruhi harga sehingga harga kedelai lokal selalu di bawah kedelai impor, tambahnya.

Total ada 105 varietas unggul dengan beragam sifat seperti biji besar, biji kecil, toleran terhadap kekeringan, dan toleran terhadap jenuh air.

"Kami sudah sering melakukan pengembangan, semacam diseminasi. Jadi sudah banyak varietas-varietas kita yang diserap oleh petani seperti Anjasmoro, Dering, Dega, Detab, dan banyak lagi," kata Purwantoro, peneliti kedelai di Balai Penelitian Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang.

Bagaimanapun, menurut Abdul Karim, benih bukanlah masalah utama bagi para petani kedelai.

Dia mengatakan, meskipun para petani di desanya bersyukur dengan bantuan benih dari Dinas Pertanian setempat, tanpa insentif yang cukup para petani tidak akan menanam kedelai.

"Maka dari itu kami selalu usul dengan orang-orang dari Dinas [Pertanian] enggak usah dibantu benihnya, tapi kami minta dibantu harga kedelainya.

"Dengan adanya harga meningkat, otomatis tanpa bantuan benih petani pun akan berduyun-duyun beli benih. Walaupun harganya mahal."

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai dalam negeri baru menutupi sekitar 30% dari kebutuhan nasional sebesar 2,2 juta ton.

Menurut Oke Nurwan, itu karena para petani di Indonesia "tidak fokus" menanam kedelai, menjadikannya tanaman sela setelah padi untuk memperbaiki unsur hara di dalam tanah.

"Sehingga saat ini, kami sangat mendukung bila ini bisa dipasok nasional. Tetapi kalau pola tanamnya masih sedikit-sedikit, dan masih tanaman sela, saya kira butuh waktu yang lama untuk menggantikan impor," kata Oke kepada BBC News Indonesia.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa jika harga kedelai diatur, itu akan menyusahkan pengrajin tahu dan tempe yang membutuhkan bahan baku murah. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan tahu dan tempe, kata Oke, begitu besar.

Ia mencontohkan bahwa saat ini harga kedelai dunia sedang naik karena permintaan besar dari China.

Harga tahu dan tempe sekarang sudah bisa menembus Rp 17.000 per kilogram karena harga kedelai menembus US$15 per gantang, kata Oke.

"Saya paham petani masih punya alternatif untuk menanam yang lain tetapi bagaimana dengan pengrajin tahu-tempe, begitu harga naik?

"Jadi itu alasannya mengapa sampai saat ini kedelai masih diatur bebas. Karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan dari masyarakat Indonesia yang masih senang tahu-tempe," kata dia.

Alasan itu diamini para pengrajin tempe di Kampung Sanan, Malang.

Dikenal sebagai sentra industri tempe dan keripik tempe, Kampung Sanan adalah rumah bagi lebih dari 600 pengrajin tempe yang biasanya membutuhkan bahan baku kedelai hampir 40 ton per hari.

Para pengrajin tempe di Kampung Sanan masih bergantung pada kedelai impor dari Amerika Serikat.

"Adapun itu kualitasnya kurang bagus, ada yang bagus kualitasnya sama dengan impor tapi harganya juga mahal," ia berkata kepada BBC.

Meski begitu ia mengatakan bahwa jika ada kedelai lokal yang tersedia dan harganya terjangkau, para pengusaha di Kampung Sanan akan beralih.

"Kalau memang barangnya ada, kualitasnya sama, barangnya sama, mungkin kita cenderung ke lokal. Karena kalau kedelai lokal, selain tempe ini makanan asli Indonesia, rasanya juga lebih enak," kata Ifan.

Jawaban serupa dilontarkan Iis, pengrajin tempe dan keripik tempe "Amanah" di Kampung Sanan.

Ia mengatakan, kedelai lokal lebih sulit diproses menjadi keripik tempe, dan dapat menghasilkan produk yang rasanya "agak kecut".

Meski begitu, ia tidak akan ragu beralih jika kedelai lokal tersedia.

"Kalau Indonesia punya kedelai lokal, kenapa enggak pakai produknya Indonesia sendiri. Dan kita akan belajar, itu merupakan tantangan orang Indonesia sendiri termasuk pengrajin tempe dan keripik tempe," ungkapnya.

Hal tersebut dijelaskan sejarawan kuliner Fadly Rahman dan penulis buku Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942.

Fadly mengatakan tempe disebut dalam Serat Centhini, yang ditulis dalam abad ke-17 Masehi. Namun berdasarkan bukti tertulis, masyarakat Jawa kuno sudah mengenal teknik fermentasi di masa abad 8-10 Masehi.

Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Profesor Mary Astuti, teknik membuat "tempe" mungkin berasal dari makanan di masa Jawa kuno bernama tumpi, yang terbuat dari sagu dicampur kedelai hitam.

"Itu sudah ada jauh sebelum datangnya kedelai dari Tiongkok yang berwarna kuning," kata Fadly.

Ia menjelaskan, sejak abad ke-10 Masehi kedelai dari Tiongkok kemungkinan sudah dibudidayakan di Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, sebagaimana tertulis dalam prasasti Watukura di Jawa Timur yang mengatakan ada makanan bernama tauhu atau tahu yang kita kenal sekarang.

Fadly mengatakan, produksi kedelai saat itu hampir setara dengan beras.

Pada abad ke-17, seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja untuk VOC - organisasi dagang di zaman kolonial Belanda - Rumphius, mengatakan bahwa orang Jawa mengonsumsi sejenis makanan yang difermentasi dari kacang kedelai untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.

Kemungkinan, makanan yang dimaksud itu adalah tempe.

"Orang-orang Jawa, walaupun saat itu belum mengenal pengetahuan gizi seperti sekarang, boleh dikatakan mereka sangat paham kedelai ini memiliki kandungan protein yang setara dengan protein hewani," ujarnya.

Literatur-literatur tersebut menarik perhatian orang-orang Belanda - khususnya para ahli pangan, ahli gizi, dan ahli botani - yang melihat tempe sebagai makanan rakyat jelata.

Awalnya mereka menganggap rendah tempe, namun seiring dengan temuan-temuan di bidang gizi, nilai tempe naik di mata mereka pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 sebagai makanan penyelamat di masa sulit.

"Karena mereka [rakyat Jawa] bekerja di perkebunan-perkebunan milik orang Belanda dan tidak sempat mengurus ternaknya, lahan pertaniannya, sehingga banyak ternak yang mati dan lahan pertanian gagal panen, dan yang paling mereka andalkan itu adalah kedelai dan produk-produk olahannya - di Jawa Barat ada oncom, di Jawa Tengah dan sekitarnya ada tempe.

"Dan ternyata dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli gizi Belanda, mereka melihat bahwa yang membuat orang-orang Jawa bisa bertahan hidup sekalipun mereka mengalami krisis pangan, karena mereka bisa menggantikan kebutuhan protein hewani mereka dengan tempe," kata Fadly.

Salah satu puncak kejayaan tempe adalah ketika krisis ekonomi global pada tahun 1930-an, yang dampaknya juga dirasakan di Indonesia.

Orang-orang Belanda sudah tidak bisa lagi hidup bermewah-mewahan dengan makan daging - dan produk-produk hewani seperti mentega dan keju itu sangat langka dan sangat mahal.

Para ahli di masa itu menemukan dalam uji laboratorium mereka, kata Fadly, bahwa tempe memiliki kandungan gizi yang luar biasa - bahkan pada tahun 1930-an, ia sudah mendapatkan reputasi sebagai 'superfood'.

Hasil penelitian itu bahkan dipresentasikan di Paris dan Belanda, sampai dilakukan eksperimen di laboratorium-laboratorium di Eropa yang mengganti tepung gandum dengan tepung kacang kedelai.

Dan hasil uji laboratorium di Eropa inilah yang diterapkan di negeri-negeri jajahan, termasuk Indonesia, demikian Fadly menjelaskan.

"Sehingga di buku-buku panduan masak di tahun 1930-an itu trennya bukan lagi daging tetapi mengarahkan para pembacanya supaya melakukan substitusi terhadap kacang kedelai, dan salah satu produknya itu adalah tempe," ujarnya.

Namun pamor tempe turun setelah Indonesia merdeka, dan ia kembali dianggap sebagai makanan kelas dua, salah satunya - ini juga ironis - karena pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Dalam pidato kemerdekaan pada 17 Agustus 1963, Sukarno menyerukan agar bangsa Indonesia tidak menjadi "bangsa tempe". Maksud sang pendiri bangsa ialah menyemangati bangsa Indonesia supaya tidak lembek dan tidak meminta-minta bantuan dari negara lain.

Namun asosiasi tempe dengan "makanan rendahan" melekat di hati masyarakat Indonesia.

"Bung Karno mungkin tidak menyadari saat itu dia terjebak dalam paradigma lama dari kolonialisme yang memandang awalnya tempe sebagai makanan rendahan," kata Fadly.

Sutono (53) telah memproduksi tempe dari kedelai lokal sejak awal dekade 2010-an. Ia menganggap kedelai lokal sebagai kedelai yang segar, sehingga menghasilkan tempe yang enak.

"Jadi kedelai lokal itu, freshness-nya (kesegaran) dapat, taste-nya (rasa) dapat. Orang lebih melihat itu sebagai konsumsi yang bergengsi, kalau tempenya pakai kedelai lokal," kata pengusaha yang berbasis di Surabaya itu.

BBC News Indonesia diberi kesempatan mencoba tempe yang dibuat dari kedelai lokal dan membandingkannya dengan tempe dari kedelai impor. Hasilnya, tempe dari kedelai lokal memiliki tekstur yang lebih lembut dan rasanya memang lebih gurih.

Harga tempe Hienak (singkatan dari higienis dan enak) buatan Sutono memang sedikit lebih mahal dari tempe di pasar.

Namun para pelanggan Sutono masih bisa menerimanya. Ia menyalurkan tempenya ke supermarket dan menjualnya secara online, tanpa ongkos kirim.

Dalam seluruh tahapan produksi tempenya, Sutono berusaha menerapkan standar kebersihan dan keamanan yang baik hingga produknya mendapat sertifikat ISO 9001 dan 22000.

Bagi dirinya, itu merupakan salah satu cara untuk membuat tempe kembali "naik kelas".

"Jadi kalau semuanya itu di lingkungan kerja yang baik, semuanya distandarkan baik maka orang itu akan jadi percaya, dan itu akan menaikkan pamor dari produk kita sendiri," ujarnya.

Bagaimanapun, fakta bahwa sebagian besar kedelai yang menjadi bahan baku tempe berasal dari luar negeri tidak menjadikan makanan itu "kurang Indonesia", menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman.

Itu karena tradisi dan sejarahnya sangat khas Indonesia.

Namun alangkah baiknya, kata Fadly, jika Indonesia dapat memenuhi kebutuhan kedelainya dari dalam negeri, karena dengan itu masyarakat Indonesia bisa mempertahankan tempe "secara paripurna" sebagai identitas kulinernya.

"Sehingga dengan begitu kita mengangkat martabat para petani kedelai kita supaya tidak selalu kalah dengan kedelai-kedelai impor."

https://regional.kompas.com/read/2021/06/08/125200478/tempe-makanan-sejuta-umat-yang-bertahan-di-tengah-gempuran-kedelai-impor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke