Sehari-hari mereka menggunakannya untuk membawa barang dagangan seperti buah, sayur, dan umbi-umbian ke pasar, atau untuk berbelanja.
Bagi masyarakat pedalaman Papua, noken biasanya juga digunakan untuk membawa bayi, ternak, ubi, sayur, dan pakaian.
Baca juga: Noken Papua Jadi Google Doodle Hari Ini, Berikut Filosofi dan Cara Membuatnya
Sedangkan bagi intelektual Papua, noken digunakan untuk menyimpan buku atau membawa notebook ke kampus.
Sedangkan bagi suku Dani yang bermukim di pegunungan tengah Papua, noken dijadikan sebagai alat tukar.
Noken dengan jumlah tertentu dapat ditukar dengan seekor babi.
Hal ini senada dengan yang disampaikan Merry Dogopia (49), salah satu perajin noken di Jayapura.
Baca juga: Noken, Tas Tradisional khas Papua yang diakui UNESCO
Menurutnya, noken adalah tas tradisional yang harus dimiliki oleh semua masyarakata Papua.
“Noken adalah identitas Papua. Di dalam noken itu kita mengisi semua kebutuhan seperti hasil bumi, harta benda, juga sebagai gendongan bayi. Semua itu ada dalam noken," kata dia.
Ia mengatakan dari noken, bisa dilihat suku yang membuatnya.
Merry mencontohkan noken yang dibuat dari suku di bagian selatan Papua, tas tradisional itu diberi gantungan bulu kasuari.
"Kalau dari suku saya di Paniai itu ada anggreknya, kalau dari Wamena dia polos warna hitam dengan merah, jadi ada perbedaan warna dan cara bikinnya juga beda," kata Merry.
Baca juga: Noken hingga Camilan Lokal Disiapkan Jadi Oleh-oleh PON Papua
Arkeolog Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebut pembuatan noken yang asli dianggap sulit dan memakan waktu yang panjang.
Pembuatannya hanya menggunkan serat tanaman dan menggunakan pewarna alami.
Tanaman yang dinilai menghasilkan serat yang bagus yakni melinjo (Gnetum gnemon), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), dan anggrek (Diplocaulobium regale).
Kulit kayu akan dipukul lalu dianginkan hingga kering sebelum dianyam.
Baca juga: Noken Raksasa Sepanjang 30 Meter Jadi Tas Terbesar di Dunia