Sebelum masuk ke lapangan, panitia akan memeriksa suhu tubuh warga, menjaga jarak selama shalat ataupun saat menyantap makanan.
Warga juga diminta untuk membawa sajadah sendiri. Tujuannya untuk menghindari penularan Covid-19.
Budaya ini, sambung Safrudin, merupakan budaya lama. Di Leuwi Nutug sendiri, budaya ini sudah lama hilang.
Karena itulah, ia kembali menghidupkan budaya ini sebagai bentuk syiar.
Salah satu warga, Mak Toto (80) mengatakan, budaya makan bersama setelah shalat Id, biasa dilakukan saat ia masih kecil di Cililin.
Dulu, ia dan anak-anak lainnya membawa berbagai makanan di atas pipiti ataupun nyiru (tempat makanan besar yang terbuat dari anyaman bambu).
Isinya mulai dari umbi-umbian hingga makanan khas Lebaran seperti ketupat, tumis bihun, opor ayam, ketupat, dan lainnya.
Makanan tersebut nantinya akan dikonsumsi oleh warga sehabis shalat Id.
“Jadi beres shalat dan salaman, enggak langsung bubar. Tapi, makan-makan dulu. Tapi, sekarang sudah enggak ada lagi. Makannya di rumah saja,” ungkap Mak Toto.