Salin Artikel

Melihat Ketupat Barokah, Budaya Guyub Orang Sunda Saat Lebaran

Tak jauh dari sana, terlihat seorang anak sedang membersihkan ayam dan pemuda tengah membenarkan kayu bakar di hawu (tungku api).

Pemuda ini kemudian menaruh 200 ketupat yang telah diisi ke dalam panci besar dan membuat opor ayam.

Kegiatan tersebut dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Muttaqien, Kampung Leuwinutug, Desa Batulayang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Selain di pesantren, sejumlah warga ikut membantu mengolah makanan di rumahnya masing-masing. Seperti mengupas kelapa, menjemur daun, mengolah bumbu, hingga membuat sayur.

Keesokan harinya, makanan tersebut akan disajikan, untuk konsumsi warga setelah pelaksanaan shalat Idul Fitri.

“Namanya ketupat barokah (berkah),” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Muttaqien, Safrudin Abdul Karim kepada Kompas.com.

Pria kelahiran 1978 ini mengatakan, ketupat barokah merupakan budaya lama. Dulu, sejumlah pesantren suka menggelarnya sebagai bagian dari syiar.

“Tujuannya menyatukan masyarakat. Mendekatkan satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Intinya biar guyub,” ucap dia.

Karena dalam keseharian, bisa saja mereka jarang bertegur sapa akibat kesibukan, ada persoalan, ataupun alasan lainnya.

Dengan ketupat ini, mereka akan dipersatukan. Tentunya dalam hal kebaikan.

Agar yang tidak baik menjadi baik, yang baik menjadi lebih baik lagi.

Bahkan dalam Islam diajarkan, ibadah tidak hanya mahdhah (shalat, puasa, dan lainnya) ataupun ghair mahdhah. Tapi ada ibadah yang berhubungan dengan tali silaturahmi.

“Jadi ini berjemaah dalam kebaikan. Makan bersama untuk mempererat tali persaudaraan,” ungkap dia.

Karena tengah pandemi Covid-19, protokol kesehatan pun dimaksimalkan. Misalnya, dari kapasitas lapangan untuk 500 orang, akan dibatasi menjadi 200 orang.


Sebelum masuk ke lapangan, panitia akan memeriksa suhu tubuh warga, menjaga jarak selama shalat ataupun saat menyantap makanan.

Warga juga diminta untuk membawa sajadah sendiri. Tujuannya untuk menghindari penularan Covid-19.

Budaya ini, sambung Safrudin, merupakan budaya lama. Di Leuwi Nutug sendiri, budaya ini sudah lama hilang.

Karena itulah, ia kembali menghidupkan budaya ini sebagai bentuk syiar. 

Salah satu warga, Mak Toto (80) mengatakan, budaya makan bersama setelah shalat Id, biasa dilakukan saat ia masih kecil di Cililin.

Dulu, ia dan anak-anak lainnya membawa berbagai makanan di atas pipiti ataupun nyiru (tempat makanan besar yang terbuat dari anyaman bambu).

Isinya mulai dari umbi-umbian hingga makanan khas Lebaran seperti ketupat, tumis bihun, opor ayam, ketupat, dan lainnya.

Makanan tersebut nantinya akan dikonsumsi oleh warga sehabis shalat Id.

“Jadi beres shalat dan salaman, enggak langsung bubar. Tapi, makan-makan dulu. Tapi, sekarang sudah enggak ada lagi. Makannya di rumah saja,” ungkap Mak Toto. 


Kehadiran pesantren

Salah satu warga, Agus Effendi mengatakan, kehadiran pesantren memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar.

Seperti membuat kampung jadi lebih ramai karena anak-anak maupun pemuda pemudi semakin rajin mengaji.

Termasuk, pemuda yang selama ini kerap dianggap negatif oleh warga karena kerap mabuk-mabukan.

“Alhamdulillah sekarang mah mereka juga (pemuda yang mabuk-mabukan) jadi ikut meramaikan masjid dan pesantren,” kata dia.

Sang ustadz, Safrudin menambahkan, perlu waktu untuk mengajak orang-orang tersebut. Namun, dirinya memiliki metode khusus untuk mengajak mereka bergabung.

“Intinya jangan mudah menyerah dan putus asa. Perlu kesabaran dan waktu untuk mengajak berjalan dalam kebaikan,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/05/13/105938378/melihat-ketupat-barokah-budaya-guyub-orang-sunda-saat-lebaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke