CIANJUR, KOMPAS.com – Seakan tak rikuh dengan kondisi sekeliling yang kotor dan berdebu, gadis muda itu asyik berkutat dengan tanah liat.
Kedua tangannya begitu terampil mengolah sekepal tanah yang diletakkan di atas putaran alas kayu.
Sambil menjaga alat itu agar tetap bergerak, ia mulai mengolah tanah. Sesekali adonan itu diairi agar tidak lengket di tangan.
Tak berlangsung lama, sebuah cobek pun berhasil terbentuk sempurna.
Sudah dua tahun, Rani Anjani (22), demikian nama perempuan itu, menjadi perajin gerabah untuk meneruskan usaha orangtuanya.
Baca juga: Cerita Perajin Gerabah Palembang Bertahan di Tengah Pandemi Tanpa Bantuan Pemerintah
Satu demi satu cobek dibuatnya dari pagi hingga petang menjelang.
Seharian, Rani bisa menghasilkan 50-70 buah cobek, baik ukuran besar maupun kecil.
Satu buah cobek mampu ia kerjakan hanya dalam waktu 5 menit.
"Awalnya tidak sekali jadi. Dulu, kalau buat gagal terus. Sekarang karena sudah terbiasa jadi mudah. Namun, setelah ini prosesnya masih panjang," tutur Rani saat ditemui Kompas.com, belum lama ini.
Baca juga: Risma: Perajin Harus Inovatif, Jangan Terus Berharap Bantuan Pemerintah
Dijelaskan, setelah pembentukan selesai, gerabah sederhana itu kemudian diangin-angin dan dijemur tanpa terkena sinar matahari langsung.
Setelah kering dan mengeras, punggung cobek kemudian dikerok agar rapi, dan bagian dalamnya diusik atau dihaluskan menggunakan batu khusus.
"Setelah proses itu selesai cobek baru bisa dibakar. Proses pembakaran dikerjakan sebulan sekali bersamaan dengan gerabah lain," ucap Rani.
Selanjutnya, cobek-cobek yang sudah jadi ini dipasok ke seorang pengepul untuk diedarkan ke sejumlah tempat di Cianjur, termasuk ke luar daerah, seperti Bandung, Bogor, Sukabumi, Purwakarta, hingga ke wilayah Banten.
“Untuk cobek yang kecil ini dari sininya Rp 2.000, kalau yang ukuran agak besar Rp 3.000-an,” kata dia.
Baca juga: Perjuangan Pinkan Mambo Lepas dari Utang, tapi Kini Jual Sofa hingga Cobek
Kampung Ciluncat memang dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kendati jumlah perajinnya terus berkurang dari waktu ke waktu.
Rani sendiri merupakan generasi ketiga dalam usaha ini.
“Meneruskan usaha orang tua. Kalau orang tua membuat tungku, saya baru bisa bikin cobek,” kata Rani.
Rani mengaku senang dengan pekerjaannya kini. Terlebih, kerajinan gerabah merupakan usaha yang dwariskan secara turun temurun di kampungnya serta kualitas produknya telah diakui pasar.
"Yah, meskipun tangan jadi agak kasar sekarang," ucapnya sembari tersenyum.
Baca juga: Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat Naik Kelas dan Raih Penghargaan UNESCO
"Kadang ada orderan tapi tanahnya tidak ada. Ini pun dapat dari luar kampung," tutur Rani sambil menunjuk tumpukan karung berisi tanah.
Menurutnya, tanah yang dibutuhkan harus yang bagus dan sesuai kriteria, yakni tanah pesawahan yang tidak tercampur batu.
"Mungkin karena sekarang sawah-sawahnya sudah makin sedikit, jadinya susah dapat tanahnya," ucap dia.
Tanah liat sendiri bukan bahan satu-satunya dalam membuat gerabah, karena harus dicampur dengan pasir agar memiliki daya rekat yang kuat.
"Kalau buat coet atau cobek pasirnya harus banyak, kalau tidak bisa pecah saat dibakar. Perbandingannya ya sekitar tigaperempat pasir dengan tanahnya," ujar Rani.
Baca juga: 5 Fakta Mbah Sarmi, Pembuat Gerabah sejak Zaman Penjajahan Belanda
"Sebenarnya pesanan tetap ada. Tapi, karena ada pembatasan-pembatasan kan yah, jadinya berpengaruh ke pendistribusiannya," katanya.
Ke depan, Rani berharap bisa punya mesin atau alat sejenis molen agar dalam proses pengadukan bahan baku bisa lebih cepat dan efektif.
“Selama ini kan dikerjakan manual. Jadinya, makan waktu berhari-hari,” ucap gadis berambut panjang ini.
Baca juga: Cerita Mama Anastasia dan Gerabah Peninggalan Nenek Moyang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.