Secara terpisah, Camat Krayan Induk Heberly mengatakan, distribusi elpiji dalam negeri memang menjadi impian warga perbatasan RI–Malaysia.
Sejak pandemi Covid-19, wilayah Krayan yang hampir 98 persen menggantungkan kebutuhan hidup ke Malaysia ini sangat kesulitan mendapatkan elpiji.
"Ini sebuah harapan yang terkabul. Sejak Malaysia lockdown, kami semua kesulitan mendapat elpiji, meski ada, harganya sekitar Rp 1,5 juta. Selama ini kami masih menganggap mustahil elpiji bisa diangkut pesawat. Pertamina membuktikan itu ke kami," katanya.
Heberly melanjutkan, pengiriman elpiji Pertamina menjadi angin segar bagi warga perbatasan RI–Malaysia.
Baca juga: Gara-gara Malaysia Lockdown, Harga Elpiji di Krayan Rp 1,5 Juta, Semen Rp 1,8 Juta Per Zak
Masyarakat Krayan tidak lagi harus menebang kayu untuk kayu bakar.
Pasalnya, menebang kayu menjadi sebuah dilema karena hutan Krayan merupakan hutan lindung.
Menebang kayunya untuk kayu bakar tentu berimplikasi pada hukum dan kerusakan lingkungan. Bahkan, bertentangan dengan adat setempat.
"Kami berharap, ini ada keberlanjutannya. Pemerintah Kecamatan akan mendata berapa banyak kebutuhan masyarakat. Hasilnya akan kita laporkan ke Pertamina supaya pasokan bisa mencukupi dan membantu meringankan perekonomian warga perbatasan," kata Heberly.
Sampai hari ini, kebutuhan pokok warga Krayan memang masih sangat bergantung dengan Malaysia, tidak terkecuali elpiji.
Sejak Malaysia lockdown dalam upaya antisipasi penyebaran wabah Covid-19, harga isi ulang tabung elpiji di Krayan mencapai Rp 1,5 juta.
Harga asal sebenarnya berkisar Rp 800.000. Harga tinggi tersebut dikarenakan warga harus membayar upah buruh gendong, sekitar Rp 700.000.
Harga tersebut cukup wajar, mengingat buruh gendong elpiji akan mengambil tabung elpiji kosong untuk dibawa ke perbatasan RI–Malaysia di Long Mekang.
Di sana, mereka akan menunggu kapal kecil di pinggir sungai dengan luas sekitar 30 meter yang merupakan wilayah Malaysia.