Sejarawan Solo yang juga merupakan Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Susanto menjelaskan, dahulu Loji Gandrung merupakan rumah seorang pengusaha gula.
Pria berdarah Belanda itu bernama Johannes Augustinus Dezentje.
Ayah dari Agustinus, August Jan Caspar merupakan pejabat militer kolonial Belanda.
Keluarga Dezentje memiliki hubungan baik dengan pihak kolonial Belanda dan Keraton Kasunanan Surakarta.
Di tahun 1819, Augustinus Dezentje menikah dengan salah seorang anggota keluarga Keraton Kasunanan bernama Raden Ayu Cokrokusumo.
Dezentje menikah usai istri pertamanya yang bernama Joganna Dorothea Boode meninggal dunia di tahun 1815 setelah melahirkan anak pertama.
Sejak saat itu, Dezentje dan Raden Ayu Cokrokusumo menempati Loji Gandrung.
"Kehidupan mereka (Dezentje dan Raden Ayu Cokrokusumo) pun dianggap sebagai keluarga keraton karena reputasi Dezentje sebagai pengusaha gula memang sangat tinggi," kata Susanto.
Dia menjelaskan, seiring perjalanan waktu, tentara Jepang tiba di Indonesia.
"Setelah Jepang datang, semua orang kulit putih ditangkap, semua tempat tinggal orang kulit putih diambil alih, dari situlah rumah itu mulanya terbengkalai," kata dia.
Dalam perjalanannya, tempat itu kemudian dikelola kembali dan kini menjadi rumah dinas wali kota Solo.
Baca juga: Pidato Gibran Setelah Dilantik: Kebut Vaksinasi, Kebut Pemulihan Ekonomi
Dari kegiatan tersebut, dianggap menyerupai orang yang sedang "gandrung" atau jatuh cinta.
Sehingga secara harfiah dipahami sebagai rumah kolonial (Loji) yang digunakan untuk bersenang-senang (gandrung).
Namun Sejarawan Susanto memiliki pandangan berbeda terkait sebutan Loji Gandrung.
Susanto menilai, tempat berpesta dan berdansa pada masa itu bukan di Loji Gandrung, melainkan di Harmoni Straat.
"Kalau tempat dansa, saya kita tidak ada. Itu di Harmoni Strat, tempat untuk berdansa, tepatnya di belakang Beteng," kata dia.
Nama Loji Gandrung, kata dia, justru muncul dari kekaguman Presiden Soekarno yang mengagumi tokoh wayang orang Sriwedari bernama Rusman dan Darsi.
Rusman biasa memerankan tokoh Gatotkaca sedangkan Darsi sebagai Pregiwa.
"Soekarno kagum hingga terinspirasi cara berbicara Rusman dan Darsi itu, sehingga pidato Soekarno pun gayanya seperti mereka," tutur Susanto.
Jika Soekarno berkunjung ke Solo, lanjut dia, pertunjukan wayang dengan lakon "Gatotkaca Gandrung" selalu ditampilkan. Sehingga dari situlah nama Loji Gandrung digunakan.
Baca juga: Pengamat: Tantangan Gibran, Mengulang Success Story Jokowi